RN - Pandangan Sumardjijo bahwa langkah Pimpinan KPK bersama Tim Penyidik KPK meminta BPK-RI melakukan audit investigasi terhadap dugaan korupsi Firmula E dengan membawa angka kerugian negara, dinilai sebagai tidak wajar, adalah pandangan yang keliru dan tidak memiliki landasan hukum.
Mengapa, karena KPK sudah melakukan proses penyelidikan yang cukup panjang dan mengenai dugaan kerugian negara pun KPK telah menghitung dengan menggunakan auditor internal KPK, karena itu kebutuhan penyidikan KPK meminta BPK melakukan Audit Investigatif, tidak lain untuk memastikan berapa angka kerugian negara sebenarnya dan sekaligus melegitimasi penilain tentang kerugian negara dimaksud.
Begitu dikatakan Koordinator TPDI & Advokat Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, hari ini. “Permintaan KPK itu tidak boleh ditolak BPK RI dengan alasan apapun, termasuk alasan independensi BPK sebagaimana didalilkan oleh Soemardjijo,” tegas Selestinus.
BERITA TERKAIT :Jakpro Nyerah Soal Formula E, Iwan Takwin Lempar Handuk?
Bek Liverpool Jadi Bos Tim F1
Jika BPK menolak melakukan audit Investigatif atau jenis Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), maka BPK bisa dituntut dengan alasan merintangi, menghalangi dan menggagalkan penyelidikan, penyidikan dan persidangan dugaan tindak pidana korupsi pada Formula E.
“BPK RI bukanlah lembaga satu-satunya dalam melakukan penghitungan kerugian negara, apalagi terkait tindak pidana korupsi. Harus diingat tidak semua kerugian negara berasal dari tindak pidana korupsi. Karena itu persoalan kerugian negara akibat korupsi, KPK bisa gunakan instrumen Auditor BPK, bisa BPKP bahkan Akuntan Publik lain yang independen,” beber Selestinus.
Selestinus menambahkan, bahaya sekali kalau seluruh kerugian negara akibat korupsi diharapkan penghitungannya hanya pada BPK RI, karena Auditor BPK RI-pun bisa saja ikut melakukan korupsi, sebagaimana selama ini terjadi.
“Apa yang dilakukan oleh KPK dengan meminta Audit Investigatif kepada BPK ini merupakan signyal kuat bahwa KPK sudah mengantongi bukti-bukti korupsi dalam Formula E, baik bukti-bukti pada unsur barang siapa, unsur perbuatan melawan hukum/menyalahgunakan jabatan, unsur kerugian negara, dan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain,” ungkap Selestinus.
Ratio KPK meminta BPK RI mengaudit melalui metode PDTT atau Audit Investigatif terkait dugaan kerugian negara dalam Formula E, oleh karena dugaan kerugian negara dalam kasus Formula E ini sangat fantastis. Dan publik sangat mendukung adanya permintaan KPK untuk Audit Investigatif ke BPK RI karena dalam kasus ini nama Anies Baswedan disebut-sebut terlibat.
Dengan demikian pandangan Bambang Widjojanto bahwa langkah KPK meminta BPK RI mengaudit Investigatif kasus Formula E sebagai langkah untuk menjegal Anies Baswedan adalah pandangan yang sesat. Karena sekiranya pun terbukti Anies Baswedan terlibat, maka dengan sendirinya Anies Baswedan terjegal dengan sendirinya. Karena itu langkah KPK harus dimaknai sebagai upaya untuk melahirkan pimpinan nasional yang bersih dan bebas KKN bukan untuk menjegal.
“Kita patut mengapresiasi langkah KPK ini, sebagai terobosan dan harus dibudayakan karena dengan demikian KPK dapat melahirkan pimpinan nasional dan daerah yang bersih dan bebas KKN. KPK sangat berkepentingan dengan misinya untuk melahirkan seorang Pimpinan Nasional dan Kepala Daerah yang bersih dan bebas dari KKN dan itu sah-sah saja karena sesuai dengan tujuan UU Tipikor,” pungkas Petrus Selestinus.