RADAR NONSTOP - Bawaslu terkesan memberi ruang buat Oesman Sapta Odang (OSO) maju menjadi anggota tanpa menanggalkan statusnya sebagai orang partai politik (parpol).
Diketahui, Bawaslu telah melanjutkan proses permohonan dugaan pelanggaran administrasi dengan terlapor Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke tahap pemeriksaan pokok materi perkara.
Bawaslu telah memudahkan pihak OSO untuk melayangkan laporan kepada Bawaslu atas keputusan yang dilakukan oleh KPU atas dasar melanggar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mencabut namanya dari daftar calon tetap DPD RI.
BERITA TERKAIT :Beredar Video Sidang DKPP, Manja Lestari Damanik Ketua KPU Brebes Jadi Bandar Suara Pemilu 2024?
Yang Klaim Penyelenggara Pemilu Dukung RIDO Berpotensi Kena Somasi, Sama Dengan Sebar Hoax
"Saya tidak menduga ada permainan, tapi saya menduga Bawaslu membuka ruang agar kemudian pihak OSO bisa melakukan gugatan sengketa administrasi dengan cara korespondensi surat menyurat dengan pihak OSO," ujar pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari dalam acara diskusi di Jakarta, Minggu (30/12/2018).
Korsepondensi yang dimaksudkan oleh Feri ialah adanya surat Bawaslu RI Nomor 0792/K.Bawaslu/HK.08/XII/2018 yang berisikan bahwa putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN bersifat final dan bainding sehingga dasar tersebut dipergunakan oleh pihak OSO untuk kembali mengajukan gugatan dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh KPU.
Padahal pada 11 Oktober lalu Bawaslu telah mengambil sikap dalam menolak permohonan gugatan pencalonan OSO yakni mengatakan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada 23 Juli lalu tidak berlaku surut dan pada saat diputuskan belum dalam tahapan penetapan DCT. Karena itu, syarat bacaleg DPD masih dapat berubah mengikuti peraturan hukum yang ada.
"Karena sebelum permohonan OSO diajukan, itu dasar mereka menggunakan surat menyurat antara pihak OSO dan Bawaslu lalu sekarang Bawaslu lah yang mengadili isi suratnya sendiri," ungkapnya.
Di tempat yang sama, mantan anggota Bawaslu periode 2008-2012 Wahidah Suiab menuturkan pihak Bawaslu harus konsisten dengan putusan yang pernah diambil lembaga tersebut sebelumnya.
Dia juga menganggap adanya putusan MK yang menjadi dasar dari penolakan dalam permohonan gugatan DCT yang dibatalkan Bawaslu saat itu sudah tepat dan seharusnya menjadi yurisprudensi.
Dia pun menganalogikan hal tersebut saat adanya polemik larangan mantan napi korupsi yang akhirnya digugurkan.
Dalam poin tersebut yang menjadi rujukan dasar ialah hirarki perundang-undangan tertinggi dan jika dikaitkan dengan kasus OSO maka hierarki perundang-undangan tertinggi ada dalam putusan MK.
"Di kasus larangan napi koruptor ada hirarki perundang-undangan,untuk kasus OSO juga sama. Jangan sampai putusan PTUN dan MA dijadikan dasar KPU salah dalam hal administrasi. Kami yakin jika Bawaslu konsisteb maka tidak akan ada perbedaan," ungkapnya.
Sebelumnya, pihak OSO mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi KPU ke Bawaslu. KPU dianggap tidak menerapkan adanya putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN dengan memasukkan nama OSO ke dalam DCT Pemilu 2019. Saat ini proses perkara tersebut sudah memasuk tahap pemeriksaan pokok materi.i