RN - Saat ini semua mata tertuju di Depo Plumpang milik Pertamina di Jakarta Utara. Padahal sebelumnya gaduh soal putusan PN.
Diketahui, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (2/3) memutuskan penundaan pemilu. Keputusan ini bikin gaduh.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Adies Kadir, mengaku keputusan menunda atau memulai ke proses awal bukan kewenangan PN Jakpus. Tapi, kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau keputusan DPR bersama pemerintah apabila ada hal yang krusial.
BERITA TERKAIT :Mendekati Pencoblosan, DPRD Kota Bekasi Ingatkan KPU dan Bawaslu Bekerja Profesional
Kasak-Kusuk Mr A Dongkel Kursi Wali Kota Jakpus
Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Golkar tersebut memahami, para hakim memang memiliki hak untuk memutus perkara tanpa diintervensi siapapun. Tapi, putusan harus sesuai dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. "Bukan berdasarkan mau-maunya sendiri atau maunya yang meminta," kata Adies di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).
Adies menekankan, pengadilan hanya bisa memutus perkara yang berhubungan dengan penggugat dan tergugat.
"Saya minta agar Badan Pengawas MA dan KY untuk segera memeriksa hakim-hakim itu, kalau perlu di-nonpalu-kan dulu," ujar Adies.
Mereka yang memutuskan perkara itu adalah Teungku Oyong dengan anggota hakim H Bakri dan Dominggus Silaban.
Dia berpendapat, tiga hakim yang terlibat putusan penundaan pemilu seperti itu sebaiknya jangan ditempatkan di PN Jakpus. Dia menyarankan agar hakim semacam itu ditugaskan di luar Pulau Jawa saja.
"Dalam waktu dekat setelah masuk masa sidang setelah reses, kami Komisi III DPR RI akan memanggil Sekretaris MA RI, untuk berkoordinasi terkait masalah ini," kata Adies.
Sementara Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto menegaskan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak bisa disalahkan terkait produk yang sudah diputuskan di pengadilan.
Hal demikian ia sampaikan merespons putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.
Ia menekankan hakim-hakim memiliki independensi dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara.
"Hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya, karena putusan dianggap benar," kata Suharto, Jumat (3/3).
Suharto menjelaskan putusan PN Jakpus itu belum memiliki hukum tetap. Pasalnya, ia meyakini akan ada pihak terkait mengajukan banding terhadap putusan hakim tersebut.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat sebelumnya mengabulkan gugatan Prima untuk seluruhnya dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024. Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu diadili oleh ketua majelis hakim T. Oyong dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban. Putusan dibacakan pada Kamis (2/3).
Pengadilan menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. KPU diminta membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada Partai Prima.
Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menegaskan putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah. Ia menjelaskan masih ada upaya hukum di pengadilan tinggi mengingat KPU sebagai pihak tergugat menyatakan banding. Keputusan pengadilan ini lantas dikritisi oleh banyak pihak.