RN - Korupsi sebuah kejahatan luar biasa karena memiliki dampak yang masif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tidak hanya merugikan negara, korupsi menyengsarakan rakyat di dalamnya. Berbagai dampak korupsi di berbagai bidang bisa dirasakan sendiri oleh kita semua.
Cerminan dampak korupsi bisa dilihat dari mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, masyarakat yang semakin miskin, atau terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Perkembangan ekonomi mandek dan berbagai rencana pembangunan terhambat akibat korupsi. Belum lagi dari sisi budaya, korupsi semakin menggerus kearifan lokal dan menggantinya dengan tabiat yang buruk.
BERITA TERKAIT :Bung Berewok, Prabowo: Panggil Saya Fu Manchu
Wow, Gaya Bung Berewok Carmuk Ke Prabowo?
Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.
Korupsi juga merampas hak-hak dasar warga negara termasuk hak untuk mendapat akses telekomunikasi dan informasi.
Hal ini tak terlepas dari proses hukum yang saat ini tengah dijalani oleh Menkominfo nonaktif Johnny G Plate politikus partai Nasional Demokrat (NasDem) dan 6 tersangka lainnya terkait dengan kasus dugaan korupsi BTS Bakti Kominfo yang merugikan negara sekitar Rp 8 triliun lebih.
Proyek BTS Kominfo ini sebelumnya dilaporkan mangkrak dan juga terdapat 985 tower yang menjadi barang mati. Sungguh miris, padahal dengan adanya BTS ini, seharusnya masyarakat akan lebih mudah mendapat akses jaringan telekomunikasi dan apa yang menjadi harapan Kominfo dalam memberikan informasi kepada masyarakat di Tanah Air dapat terwujud. Proyek tersebut rencananya dikerjakan dalam dua tahap.
Tahap pertama, sebanyak 4.200 site dan dikerjakan pada 2021. Sementara 3.704 lainnya masuk tahap dua dan digarap pada 2022. Proyek ini dimulai pada 2020 dan ditargetkan rampung pada 2024. Pada 2021 dana sudah keluar Rp 10 triliun dari Rp 28 triliun. Artinya 80 % telah dinikmati oleh para tersangka itu.
Ditahap pertama, Kementerian Kominfo sempat melaporkan bahwa pembangunan BTS telah rampung sebanyak 4.200 tower. Laporan itu dilakukan setelah mendapatkan teguran dari Menkopolhukam, Mahfud MD, terkait mangkraknya proyek tersebut.
Setelah diselidiki menggunakan satelit hanya terbangun 957 tower. 4.800 tower BTS juga seharusnya ditargetkan rampung pada Maret 2023. Namun, hingga saat ini, hanya terdapat 985 tower yang telah dibangun. Itu pun tidak bisa digunakan alias barang mati.
Selain proyek BTS 4G untuk akses-akses internet sampai ke pedesaan, ada juga Satelit Satria, kemudian Palapa Ring dan sebagainya.
Setelah Johnny G Plate dan kawan-kawan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G, kabarnya proyek Satria 1 tetap berjalan sesuai rencana.
Bahkan, Satelit Satria – 1 yang akan mulai beroperasi pada 2023 ini bisa meningkatkan sinyal Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dibangun oleh mereka di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Seperti yang diungkapkan oleh Anang Achmad Latif, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) yang saat ini juga tersangka korupsi BTS Kominfo, bahwa rencana peluncuran 2 satelit Satria-1 dan Satria-2 sebagai bagian dari upaya akselerasi transformasi digital Indonesia melalui perluasan layanan internet hingga daerah 3T.
Anang menyebutkan pendanaan pembangunan satelit ini memakan biaya hingga Rp 15 triliun yang berasal dari investasi swasta dan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Total anggaran sekitar Rp15 triliun pemerintah baru menyiapkan satu satelit, terus satu jadi nanti tentunya dalam berproses. Kita melakukan tahapan-tahapan sesuai dengan progres pembangunan. Kami terima dari pabrikan setiap bulannya berarti satu triliun tapi kalau untuk kerja sama dengan yang swasta,” terang Anang kala itu.
Satelit Satria – 1 itu akan terbang menggunakan roket Falcon 9 milik perusahaan antariksa swasta Elon Musk, SpaceX. Satelit yang dibangun PT Satelit Nusantara 3 ini menggunakan teknologi Very High-Throughput Satellite (VHTS) dan frekuensi Ka-Band.
Teknologi ini memiliki kapasitas 150 Gbps. Kapasitas transisi yang disediakan diklaim tiga kali lebih besar dari sembilan satelit aktif yang digunakan di Indonesia.
Saat ini Indonesia menggunakan delapan satelit untuk kebutuhan telekomunikasi nasional dengan total kapasitas 50GB per detik. 27Gbps di antaranya digunakan oleh pemerintah.
Pemerintah membangun satelit Satria-1 menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Konsorsium Pasifik Satelit Nusantara menjadi pemenang tender satelit, terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
Konstruksi satelit ini dikerjakan oleh pabrikan Prancis yaitu Thales Alenia Space. Struktur pembiayaan Satria terdiri dari porsi ekuitas (22 persen) senilai US$114 juta dan porsi pinjaman (78 persen) senilai US$431 juta.
Lantas apakah Satelit Satria ini bisa berfungsi sebagaimana mestinya, sebab nyaris 1.000 tower BTS tidak berfungsi atau jadi barang mati?
Satelit Nusantara 3 atau Satelit Republik Indonesia (Satria) ini akan diluncurkan ke orbit pertengahan Juni 2023 ini. Tahap pertama BAKTI Kominfo mengeluarkan Rp 10 triliun untuk dana pembangunan BTS, tetapi 80% (Rp 8,32 triliun) dikorupsi dan membuat Menteri Johnny G Plate jadi tersangka Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Kabar terakhir satelit ini sudah jadi dan seharusnya pertengahan Juni ini bakal diluncurkan dengan menggunakan roket Falcon-9 Space X-nya adalah Elon Musk. Satelit ini memiliki spesifikasi Hight Throughput Satelite (HTS), satelit ini bisa mengirimkan data besar dengan kecepatan tinggi. Kalau Satelit Satria-1 sudah mengangkasa, akses di wilayah 3 T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) seharusnya jadi melesat,” kata Ketua DPP PSI, Sigit Widodo dalam videonya dikutip radarnonstop.co, Jum’at (2/6).
Dijelaskannya, bahwa dari BAKTI Kominfo menyatakan setelit ini akan mampu memfasilitasi sambungan internet di 150.000 layanan publik seperti fasilitas layanan pendidikan pemerintah daerah administrasi pertahanan keamanan dan fasilitas kesehatan. Satelit Satria-1 ini adalah satelit geostasioner orbit tinggi yang tidak bisa langsung diakses dengan perangkat mobile.
“Dari satelit ini akses harus disalurkan melalui Base Transceiver Station (BTS) untuk bisa mencapai perangkat mobile. Padahalkan hampir seribu tower BTS tak berfungsi gara-gara dikorupsi,” bebernya.
“Terus nanti satelit Satria – 1 nyambung kemana? Kasihan bangat satelit mahal ini sendirian diluar angkasa tanpa bisa berhubungan dengan ribuan BTS yang seharusya siap menyambut koneksi datanya di bum. Jadi kerugian negara bukan cuman 8 triliun. Puluhan triliun buat beli satelit ini juga terancam terbuang sia-sia. Jangan lupa satelit ini cuma bisa berfungsi secara efektif selama 15 tahun,” tambahnya.
Tak hanya sampai disitu saja, bahwa sebelumnya didalam laporan IHPS Semester I Tahun 2020, BPK menyebut program satelit Kominfo terjadi pemborosan karena penyediaan kapasitas satelit belum digunakan sebesar Rp98,20 miliar, pemesanan layanan cloud dengan spesifikasi dan kapasitas yang melebihi kebutuhan sebesar Rp5,39 miliar, serta permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp2,26 miliar.
Sehingga menurut BPK Aset yang telah dibangun/diadakan dari anggaran belanja negara belum dapat dimanfaatkan sesuai maksud dan tujuan pengadaan aset tersebut.
Selain itu, BPK menyebut juga ada pemborosan keuangan negara atas penyediaan kapasitas satelit yang tidak dimanfaatkan, sewa peralatan yang melebihi harga perolehan atau pengadaan yang melebihi kebutuhan.
Dari catatan, setidaknya ada beberapa proyek di Kominfo yang tidak ekonomis, efisien, dan efektif (3E). Seperti Pelaksanaan pekerjaan Proyek Palapa Ring Timur, penyewaan satelit dan pemesanan layanan cloud. Bukan hanya soal program Satelit Satria dan proyek satelit yang sekarang sedang ramai, BPK juga pernah membeberkan kinerj lembaga BAKTi milik Kemenkominfo.
Dalam laporan itu, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil auditnya yang isinya triliunan uang upeti dari penyelenggara layanan telekomunikasi itu tidak jelas peruntukannya. Bahkan, ada klaim dari perusahaan pemenang tender layanan sarana telekomunikasi yang nilainya mencapai Rp 2,40 triliun dan US$1,64 juta.
Catatan merah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tercantum dalam IHSP II tahun 2019. BPK telah menilai sejauh mana BP3TI dan penyedia jasa patuh terhadap Perjanjian Kerja Sama dalam Program KPU/USO Tahun Jamak (multiyears).
Dalam dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2019, lembaga audit negara itu menjelaskan ada pemborosan keuangan negara yang digunakan dalam penganggaran dan realisasi dana operasional Badan Layanan Umum Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informatika (BLU BAKTI) yang belum mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 1,17 miliar.
Selain itu, BPK juga menghitung berapa nilai klaim yang wajar dari para penyedia jasa kepada BP3TI, setelah adanya surat Menteri Keuangan Nomor S-11/MK.02/2015 tanggal 26 Januari 2015 yang menyatakan izin kontrak kerja sama berakhir pada 31 Desember 2014.
BPK juga mencatat ada klaim penyedia jasa yang tidak didukung dokumen sehingga klaim tidak dapat diakui oleh BPK sebesar Rp 611,50 miliar. BPK juga melakukan koreksi hasil pemeriksaan sebesar Rp 347 miliar dan US$13,27 ribu karena tidak adanya prestasi kerja berdasarkan log data yang diuji lembaga audit negara tersebut.
Sehingga BPK menyimpulkan nilai wajar prestasi kerja yang dapat dibayarkan kepada penyedia data sebesar Rp 1,44 triliun dan US$1,12 juta.
Untuk itu, BPK memberikan rekomendasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika serta Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI dahulu BP3TI) agar berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk menyelesaikan klaim penyedia jasa sesuai dengan hasil pemeriksaan.
Selain itu, BPK juga mendesak agar Menteri Komunikasi dan Informatika memerintahkan Direktur Utama BAKTI, untuk menyusun mekanisme penyelesaian penyerahan aset sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan berlaku.
Proyek BTS 4G Jalan Terus
Plt. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mahfud MD, kembali menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar proyek-proyek seperti Base Transceiver Station (BTS) 4G, Satelit Satria, hingga Palapa Ring agar tetap dilanjutkan.
“Proyek BTS 4G itu akan dan harus diteruskan. Proyek itu dimulai tahun 2006 dan sekarang tahun 2023. Berarti sudah 16 tahun lebih proyek berjalan, itu artinya yang dikeluarkan sudah banyak,” ujar Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta usai pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Kominfo, Selasa (23/5).
Ia mengungkapkan, setelah bertahun-tahun berjalan baik, baru terjadi “musibah” pada tahun anggaran 2020, dengan implementasinya pada 2021, kemudian proses hukum dimulai 2022. Oleh sebab itu, Presiden memerintahkan, ini harus berjalan.
“Proses hukum terus berjalan. Proses pembangunan proyek BTS 4G, bahkan proyek-proyek lain seperti Satria Satellite, kemudian akses-akses internet sampai ke pedesaan, Palapa Ring, dan sebagainya supaya dilanjutkan, sesuai dengan program dan anggaran yang sudah disediakan,” tandasnya.
Satelit Satria Direncanakan Beroperasi Kuartal III 2023
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan satelit multifungsi Satria (Satelit Indonesia Raya) akan beroperasi pada kuartal III 2023.
Johnny G Plate saat itu menjelaskan peluncuran satelit Satria ini untuk mendukung pembangunan transformasi digital di Indonesia yang diminta Presiden Joko Widodo untuk dipercepat kala pandemi Covid-19.
Hal tersebut disampaikan saat acara penandatanganan kerja sama dimulainya konstruksi Satelit Multifungsi Republik Indonesia (Satria) antara PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) dengan perusahaan asal Perancis, Thales Alenia Space (TAS) di Jakarta, Kamis (3/9/2020) lalu.
Dalam penandatanganan ini, Direktur Utama SNT Adi Rahman Adiwoso menyebut, alasan dibutuhkannya satelit multifungsi Satria yang punya spesifikasi high throughput satellite (HTS) untuk Indonesia.
Menurutnya, pada 2024-2025 mendatang, harga internet berkecepatan 1Mbps per bulan masih lebih mahal ketimbang yang dibayar BAKTI.
Oleh karena itu dibutuhkan investasi yang lebih terjangkau tetapi berkualitas. Menurutnya, satelit Satria menggunakan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan masa konsensi selama 15 tahun, yakni selama satelit beroperasi.