RN - Era digital dimanfaatkan para politisi. Mereka sudah mempromosikan dirinya di media sosial.
Yang menjadi target sosialisasi adalah Facebook, IG bahkan TikTok. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membuat aturan yang lebih komprehensif terkait aktivitas kampanye peserta pemilu di media sosial (medsos).
Jangan sampai medsos jadi wahana untuk memanipulasi publik pemilih. Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, meminta KPU mengatur transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu belanja iklan di medsos. Sebab, partai politik dan politisi sudah mulai jor-joran belanja iklan politik di medsos meski masa kampanye belum dimulai.
BERITA TERKAIT :Mendekati Pencoblosan, DPRD Kota Bekasi Ingatkan KPU dan Bawaslu Bekerja Profesional
Kasak-Kusuk Mr A Dongkel Kursi Wali Kota Jakpus
Berdasarkan laporan Facebook, kata Amalia, sejak 2020, sedikitnya sudah Rp 55 miliar belanja iklan berkaitan dengan sosial politik dikucurkan ke medsos asal Amerika Serikat itu. Sedangkan dalam 90 hari terakhir tahun 2023, juga sudah miliaran rupiah belanja iklan politik yang mengatasnamakan sejumlah politikus kondang dan partai politik di Facebook.
"Sudah banyak sekali uang dikeluarkan di luar masa kampanye (untuk iklan politik di medsos). Iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi," kata Amalia di Jakarta, dikutip Rabu (28/6/2023).
Disebut berbahaya karena iklan politik tanpa aturan bisa digunakan untuk memanipulasi opini publik seperti halnya dilakukan buzzer atau pendengung.
Amalia menjadikan pilpres Amerika Serikat pada 2016 sebagai contoh. Ketika itu, capres dari Partai Republik, Donald Trump berhadapan dengan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Trump keluar sebagai pemenang. Sejumlah media internasional melaporkan, kemenangan Trump dimotori oleh strategi kampanye medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica. Amalia mengatakan, tim kampanye Trump membuat iklan politik manipulatif yang khusus menyasar pemilih Demokrat.
"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat, yang pesannya agar tidak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi. Itu lah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," kata Amalia.
Bukan tidak mungkin politisi di Indonesia meniru strategi Trump. Karena itu, Amalia menyayangkan KPU yang tidak mengatur kampanye medsos hingga ke isu ini.
Regulasi kampanye medsos Pemilu 2024 diketahui hampir sama dengan Pemilu 2019. Perubahan hanya soal jumlah akun medsos yang boleh dimilikinya setiap kandidat di setiap platform, bertambah dari 10 menjadi 20.