Sabtu,  04 May 2024

Nomor Urut Cantik Bayar, Bawaslu Nyerah Dan Mirip Macan Ompong

RN/NS
Nomor Urut Cantik Bayar, Bawaslu Nyerah Dan Mirip Macan Ompong
Komisioner Bawaslu RI Puadi.

RN - Isu kalau adanya jual beli dengan duit mahar diendus KPK. Lembaga anti rusuah itu mewarning Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Tapi Bawaslu RI mengaku sulit melakukan penindakan terhadap pelaku praktik politik transaksional itu. Sikap nyerah Bawaslu ini ibarat macan ompong.

Sumber wartawan menyebutkan, banyak bakal calon legislatif (bacaleg) yang menyetor dana ke elit dengan alasan untuk bantuan kas. Jual beli itu dilakukan agar si caleg mendapatkan nomor cantik.

BERITA TERKAIT :
Jadi Caleg DPR Gagal, Ahmad Ali Cari Hoki Maju Pilkada Sulteng 
29 Caleg PDIP Jateng Terancam Tak Dilantik, Dampak Ganjar-Mahfud Ambruk? 

Komisioner Bawaslu RI Puadi menjelaskan, transaksi jual-beli kursi pencalonan masuk kategori mahar politik. Bentuknya adalah pemberian imbalan dari seseorang kepada partai politik agar diusung menjadi calon presiden, calon wakil presiden, maupun calon anggota legislatif.

Puadi menyebut, pemberian mahar politik merupakan perbuatan yang melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya saja, beleid tersebut tidak memuat norma sanksi bagi pelaku mahar politik.

"Dalam dimensi UU Pemilu, terdapat kesulitan bagi Bawaslu menindak pelaku mahar politik sebab UU Pemilu hanya memberikan norma larangan namun tidak mengatur sanksi," kata Puadi kepada wartawan, Jumat (7/7/2023).

Lain halnya dengan UU Pilkada. Beleid ini, kata Puadi, memuat pasal larangan sekaligus sanksi bagi pelaku mahar politik. Sanksinya adalah pidana paling singkat tiga tahun dan maksimal enam tahun, serta denda abtara Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.

Karena UU Pemilu tidak memuat ketentuan sanksi bagi pelaku mahar politik, maka Bawaslu akan mengutamakan upaya pencegahan.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron lewat keterangan tertulisnya, Jumat, menyebut tantangan Pemilu 2024 adalah masih adanya praktik politik transaksional. "Adanya jual beli kursi pencalonan dan suara pemilih masih dominan. Politik dibuat sangat mahal,” ujarnya.

Praktik politik transaksional itu, kata dia, membuka pemilu menjadi tidak berintegritas. Pada akhirnya, pemimpin yang terpilih adalah orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi ketika menjabat.