Jumat,  22 November 2024

RUU Kesehatan Diketok Puan Maharani, Ribuan Nakes Terancam

RN/NS
RUU Kesehatan Diketok Puan Maharani, Ribuan Nakes Terancam
Puan Maharani usai mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU.

RN - RUU Kesehatan sudah diketok. DPR meresmikan RUU tentang Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law menjadi undang-undang (UU).

Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-29 DPR Masa Sidang V Tahun 2022-2023. "Apakah rancangan undang-undang tentang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Ketua DPR Puan Maharani dijawab setuju oleh anggota DPR yang hadir.

Dampak dari UU tersebut dinilai akan mengancam nasib tenaga kesehatan honorer. Sebab, kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran dalam jumlah tertentu atau mandatory spending untuk belanja di bidang kesehatan dihapus dalam UU Kesehatan.

BERITA TERKAIT :
Modus Baru Penipuan Siber, Klik Saya Bukan Robot, Duit Di Rekening Langsung Ludes
Sikap PDIP Terhadap Prabowo Beda, Adian Ngaku Akan Kritis, Puan Mendukung Tanpa Sodorkan Nama Menteri 

Belum lagi banjirnya dokter asing yang bakal menggeser dokter dalam negeri. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah menyatakan, ada sekitar 80 ribu tenaga kesehatan atau nakes berstatus honorer dan sukarelawan di daerah.

Ia mengatakan adanya kewajiban alokasi anggaran 5 persen dari APBN saja banyak tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif layak.

"Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Saya rasa akan makin parah dan tidak akan mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar yang sementara ini mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah," ujar Harif di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (11/7).

Ia mengatakan jumlah tenaga honorer lebih banyak daripada PNS di daerah. Karena itu, kata Harif, dihapusnya kewajiban alokasi anggaran bakal berdampak terhadap kualitas pelayanan masyarakat di daerah-daerah.

Selain itu, Harif juga menyinggung soal nasib insentif pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Menurutnya, para PPPK berpotensi diberhentikan karena tak ada lagi anggaran untuk membayar mereka.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan kewajiban alokasi anggaran dihapus karena besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia. Ia mencontohkan mandatory spending besar yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Kuba.

Menurutnya, rata-rata usia hidup warga di kedua negara itu tidak setinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, padahal ketiga negara itu tidak menetapkan mandatory spending yang besar.

"Jadi di seluruh dunia orang sudah melihat harus fokusnya bukan ke spending, fokusnya ke outcome. Fokusnya bukan ke input, fokusnya ke output," kata Budi di Gedung DPR.

Sementara Fraksi Partai Demokrat DPR menjadi satu di antara dua fraksi yang menolak pengesahan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi UU.

UU Kesehatan dapat berpotensi menghadirkan liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA). Sebab, belum ada kajian yang lebih detail terkait dampak dan konsekuensi dari aturan tersebut.

"Fraksi Partai Demokrat menyatakan ketidaksetujuan terhadap indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang berlebihan. Meskipun Fraksi Partai Demokrat tak anti terhadap kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing, namun perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi, seperti pembiayaan dan dampak yang dikhawatirkan semua pihak," ujar Dede dalam rapat paripurna DPR, Selasa (11/7/2023).

Tenaga kesehatan, tenaga medis, hingga dokter asing dokter asing yang berpraktik di Indonesia harus patuh dan tunduk dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Dengan demikian dapat tercipta hubungan saling percaya, saling menguntungkan, dan berkontribusi positif untuk sektor kesehatan Indonesia.

Alasan penolakan kedua adalah dihapusnya pengeluaran wajib atau mandatory spending sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Penghapusan tersebut menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat,