Kamis,  28 November 2024

Polemik Caleg Koruptor, Gerindra: Taufik Menorehkan Prestasi

NS/RN
Polemik Caleg Koruptor, Gerindra: Taufik Menorehkan Prestasi
M Taufik naik bajaj untuk menyerap aspirasi warga Jakarta.

RADAR NONSTOP - Serangan Jokowi ke Prabowo soal caleg koruptor saat debat perdana menjadi polemik. Para kecebong terus menggoreng isu caleg koruptor.

Apa kata Gerindra? Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman menilai stigma negatif terhadap eks koruptor tidak tepat.

Habiburokhman mencontohkan M Taufik, kader partainya yang pernah terjerat kasus korupsi, namun kini mampu berprestasi.

BERITA TERKAIT :
PPP DKI Aja Ambruk, RIDO Bisa Kena Prank Sandiaga Uno?
Pengamat: Orang Lama Jangan Ikut Seleksi, DPRD Harus Audit Anggaran KPID Jakarta

"Pak Taufik itu senior saya. Beliau menilai korupsi hanya sekitar beberapa ratus juta, di bawah Rp 100 juta. Lalu sudah selesai menjalani hukuman. Setelah beliau selesai menjalani hukuman, berdirilah Gerindra dan beliau daftar," kata Habiburokhman di Posko Direktorat Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/1/2019).

Kata dia, Taufik-lah yang daftar Gerindra. "Itu bukan Taufik koruptor. Taufik yang sudah melewati masa permasyarakatan dan sudah jadi orang baik. Kan kita bangga ada produk dari sistem yang orang khilaf berbuat kesalahan sudah jadi baik," sambung Habiburokhman.

Di Gerindra, terang Habiburokhman, Taufik menorehkan prestasi lewat program-program bantuan untuk warga seperti ambulans gratis dan memfasilitasi warga yang hendak menggunakan layanan BPJS.

"Luar biasa beliau performanya. Apalagi beliau jadi Wakil Ketua DPRD Jakarta, tanya saja apa yang beliau lakukan. Program ambulans, nolong teman-teman masuk BPJS, banyak sekali program. Sehingga beliau mendapat suara tinggi dan dukungan tinggi," ujar Habiburokhman.

Menurut Habiburokhman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak memahami filsafat lembaga pemasyarakatan. Habiburokhman menjelaskan hak politik seorang eks koruptor diatur dalam Pasal 10 KUHP.

"Karena untuk napi korupsi itu diatur jelas bahwa tidak semua mantan napi korupsi itu dicabut hak politik. Pencabutan hak politik itu diatur dalam Pasal 10 KUHP, pidana tambahan. Lalu Pak jokowi tidak memahami filsafat permasyarakatan yang diatur di Pasal 2 Undang-undang 12 Tahun 1995," tutur Habiburokhman.

"Di mana perbedaan permasyarakatan dan pemenjaraan di masa lalu adalah bagaimana arah mendidik warga binaan agar menyadari kesalahaannya dan perbaiki diri, tidak mengulangi kejahatannya dan bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan mereka beberapa di antaranya memberikan prestasi yang luar biasa," imbuh dia.

Jokowi Mungkin Lupa?

Debat perdana memang garing. Tapi, yang hingga kini masih menjadi bahan bully adalah soal peranyaan Jokowi yang mempersoalkan lawannya, Prabowo Subianto terkait sejumlah mantan narapidana kasus korupsi dari Partai Gerindra mendaftar sebagai calon anggota legislatif.

Sebagai ketua umum partai, Prabowo dipertanyakan sikapnya karena meloloskan eks narapidana korupsi sebagai caleg.

Jokowi mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW). Tercatat ada enam mantan napi korupsi dari Partai Gerindra yang mengikuti Pileg 2019. Dia mempertanyakan itikad Prabowo memberantas korupsi sementara memasukkan kader eks koruptor maju jadi caleg.

Prabowo berusaha menyangkal Jokowi. Pemimpin partai itu mengaku belum menerima laporan ICW. Namun, ia mengakui seluruh proses pendaftaran caleg Gerindra telah melalui proses seleksi dan persetujuan dari dirinya.

Jika menilik ke belakang, pertanyaan yang dilontarkan Jokowi itu justru berlawanan dengan apa yang pernah ia sampaikan pada Mei 2018. Saat itu Jokowi menyampaikan bahwa mantan narapidana kasus korupsi tetap punya hak mencalonkan diri dalam Pileg 2019.

Menurut Jokowi, konstitusi menjamin hak seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk pada mantan narapidana kasus korupsi. Alih-alih melarang, kata dia, KPU bisa membuat aturan dengan memberi tanda bahwa caleg itu adalah mantan napi korupsi.

Seperti dikutip media online nasioanl, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, pertanyaan Jokowi itu justru menunjukkan sikap inkonsisten terkait hak mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg. Menurutnya, Jokowi hanya memanfaatkan celah untuk melawan Prabowo.

"Ini demi kepentingan debat, akhirnya jadi celah yang dimanfaatkan Pak Jokowi. Itulah Pak Jokowi masuk ke wilayah itu," ujar Ujang kepada CNNIndonesia, Jumat (18/1).

Padahal jika ditelaah lebih jauh, data ICW menyebut bahwa mantan narapidana korupsi dari Partai Golkar yang mendaftar sebagai caleg jumlahnya lebih banyak ketimbang Gerindra yakni tujuh orang.

Sementara perbedaan sikap yang ditunjukkan Jokowi delapan bulan lalu itu, menurutnya, karena kapasitasnya sebagai presiden. Sebagai seorang presiden, kata dia, Jokowi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan.

"Apa yang disampaikan Pak Jokowi itu sesuatu yang benar karena memang UU membolehkan. Enggak boleh dong presiden atau siapa pun ucapannya melanggar UU, karena (hak napi) itu kan dijamin UU," katanya.

Di sisi lain, lanjut Ujang, pembahasan isu mantan narapidana korupsi juga menjadi tolok ukur bagi masing-masing capres terkait komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, tiap calon harus mampu menunjukkan komitmen tersebut.

Tak hanya Jokowi, menurut Ujang, Prabowo juga tidak konsisten. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo cukup lantang menyatakan pemberantasan korupsi.

Namun dengan jawaban yang ditunjukkan Prabowo dalam sesi debat tersebut, mantan Danjen Kopassus itu justru tak menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Apalagi Prabowo sempat menyebut bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan kadernya 'tak seberapa'.

"Ingin berantas korupsi, tapi di sisi lain mengajukan napi korupsi. Itu kan inkonsisten," ucapnya.

Debat capres perdana membahas tema korupsi, hukum, hak asasi manusia, dan terorisme. Pada kesempatan itu, Jokowi bertanya kepada Prabowo soal caleg Gerindra yang pernah menyandang status narapidana kasus korupsi.

Ujang Komarudin, menilai pertanyaan Jokowi itu menunjukkan dirinya inkonsisten dalam persoalan eks napi korupsi jadi caleg. Menurut Ujang, pertanyaan yang diajukan Jokowi memang sengaja ingin menguji komitmen Prabowo dalam memberantas korupsi.

Hal itu terlihat dari nada bicara Jokowi yang meninggi saat mengatakan Prabowo menandatangani pencalonan napi eks korupsi jadi caleg dari Partai Gerindra.

"Pertanyaan yang menjebak, sehingga lawan bicara menjadi grogi," ujar Ujang kepada reporter Tirto, Jumat (18/1/2019).

Menurutnya, Jokowi memang agak terjebak dalam persoalan ini. Meski cenderung tak setuju mantan koruptor menjadi caleg, tapi kapasitas Jokowi sebagai presiden membuatnya harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan.

"Sebagai presiden memang wajib hukumnya mendukung mantan napi untuk menjadi caleg. Karena itu sesuai dengan ketentuan UU. Justru salah jika Jokowi melarang mantan napi untuk menjadi caleg justru salah. Dan akan menyalahi UUD," ujar Ujang.

Siapa M Taufik

Di kalangan politisi Jakarta, nama M Taufik sudah tidak asing. Dia dikenal sebagai politisi yang luwes.

Jauh sebelum terjun ke politik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang akrab disapa Bang MT ini adalah aktivis yang konsen soal pembangunan dan ekonomi kerakyatakan di Jakarta.

MT pernah menduduki kursi Ketua KPUD DKI Jakarta. Pasca dari KPUD, MT masuk ke Gerindra. Padahal, saat itu banyak partai yang mengajaknya gabung.

Tapi, MT lebih sreg ke Gerindra. Berbekal keyakinan MT keliling dari kampung ke kampung.

Bahkan, dia pernah kampanye yang hanya dihadiri oleh enam sopir taksi.

Bukan MT namanya jika dia patah arang. Di Pemilu 2009, Gerindra sukses mendapatkan enam kursi di Kebon Sirih.

Sebagai parpol baru, kerja MT patut diacungi jempol karena dia mampu menyalip PAN, PKB dan beberapa partai lama lainnya.

Sukses kembali diraih MT. Di 2014, dia mampu membawa Gerindra menjadi partai disegani di Kebon Sirih dengan 15 kursi.

Kelihaian MT juga terbukti saat Pilkada DKI 2012. Saat itu Jokowi-Ahok didukung PDIP dan Gerindra.

Disaat semua orang pesimis, MT lah yang paling yakin kalau Jokowi-Ahok akan mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi.

Hasilnya Jokowi-Ahok menang. Lalu, pada Pilkada 2017, saat Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak diunggulkan, MT-lah yang haikul yakin.

"Iris kuping gw kalau Anies-Sandi gak menang. Gw bakal keliling kampung buat sosialisasi, kalau sudah perintah partai kita harus tertib dan jalankan," ucap MT saat itu kepada para wartawan di Kebon Sirih.

Kinerja MT kembali membuahkan hasil. Anies-Sandi dinyatakan menang di putaran kedua melawan Ahok-Djarot.

Kini saat Sandi menjadi cawapres, nama MT dijagokan untuk posisi Wagub. Tapi, lagi-lagi MT adalah politisi yang legowo.

Disaat PKS ngebet ingin merebut kursi Wagub, MT hanya tertawa.

"Akh... jabatan itukan amanah. Gak usah dikejar lah nanti kalau rejeki juga datang," ungkap Ketua Umum KAHMI DKI Jakarta yang juga Ketua Gerindra DKI Jakarta ini.

Kerja politik itu kata MT adalah yakin dan ikhlas. "Kalaupun calon yang kita dukung jadi bukan berarti kita minta balas budi. Kita kerja itu berdasarkan keyakinan dan bukan karena dapat jabatan," ungkapnya beberapa waktu lalu.

M Taufik saat menemani Jokowi-Ahok ke KPUD saat Pilkada DKI Jakarta 2012.
 
 

 

 

 

 

 

#M   #Taufik   #DPRDDKI   #Caleg