Susu Import Murah Karena Bebas Bea Masuk, Peternak Sapi Gulung Tikar
RN - Para peternak sapi yang memproduksi susu segar banyak yang bangkrut. Mereka gagal bersaing dengan susu impor.
Padahal dari total konsumsi per tahun yang mencapai 4,4 juta ton pada 2022-2023, industri di dalam negeri hanya mampu memproduksi 837.223 ton. Alhasil, pemerintah melakukan perjanjian perdagangan dengan membebaskan bea masuk susu import.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi buka-bukaan soal tingginya angka impor susu sapi ke Tanah Air. Dia menyatakan, negara pengekspor susu, yang mayoritasnya dari Australia dan Selandia Baru, memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia. Perjanjian tersebut menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk mereka lebih murah 5% dari harga global saat masuk ke Indonesia.
BERITA TERKAIT :Harga Celana Dalam Di Hongkong Rp 140 Ribu, Biaya Bea Masuknya Rp 800 Ribu
"Negara-negara mengekspor susu memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia yang menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk mereka setidaknya 5% lebih rendah dari harga pengekspor susu global lainnya," jelas Budi Arie di Kantor Kementerian Koperasi, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2024).
Oleh karena itu ia menyebut perlu ada koordinasi lanjutan dengan Kementerian Perdagangan mengenai kebijakan tersebut. Tak hanya itu, kondisi diperparah dengan pelaku industri yang mengimpor produk dalam bentuk susu bubuk.
"Hal ini membuat para peternak sapi di Indonesia mengalami kerugian dimana harga susu segar menjadi lebih murah. Saat ini harganya mencapai Rp 7.000 per liter, harga keekonomian yang ideal adalah Rp 9.000 per liter. Padahal susu skim secara kualitas jauh di bawah susu sapi segar karena sudah melalui berbagai macam proses," bebernya.
Ia juga memaparkan data jumlah sapi pera pada 2023 milik Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang sebanyak 227.615 ekor. Sementara pada peternak modern jumlahnya 32.00 ekor.
Produksi susu tahunan yang dihasilkan dari Koperasi adalah 407.000 ton atau menyumbang sekitar 71%. Sementara peternakan modern memproduksi 164.000 ton atau 29%.
Wakil Menteri Koperasi dan UKM, Ferry Juliantono, meminta bea masuk 0% untuk susu impor memicu pasokan susu segar melimpah dan tidak terserap optimal oleh industri.
Menurut Ferry, tingginya impor susu yang mencapai hampir 4 juta ton per tahun telah menekan daya saing peternak sapi perah lokal.
"Kementerian Koperasi ingin menegaskan bahwa selain menyelesaikan masalah yang dihadapi peternak sapi perah di Boyolali, kami juga akan menindaklanjuti pertemuan pagi tadi bersama Kementerian Pertanian dan Sekretariat Negara. Presiden telah menginstruksikan agar masalah ini segera dituntaskan," ujar Ferry.
Ferry menekankan bahwa jika kebijakan bea masuk 0 persen tetap dipertahankan, maka sebaiknya diimbangi dengan pemberian insentif bagi peternak sapi perah domestik.
"Kita perlu insentif yang kuat agar peternak lokal mampu bersaing, mengingat biaya produksi susu lokal per liter lebih tinggi dibandingkan produk impor," jelasnya.
Mandi Susu
Para peternak sapi perah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur kesal. Mereka ramai-ramai membuang susu hasil produksinya.
Bahkan ada juga yang sengaja air susu untuk mandi. Penyebabnya, susu sapi produksi lokal tak terserap usai ada pembatasan kuota di industri pengolahan.
Peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali, Jawa Tengah misalnya menggelar aksi mandi susu dari susu yang tak terserap industri di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu lalu (9/11).
Aksi ini merupakan bentuk protes atas pembatasan kuota di Industri Pengolahan Susu (IPS). Mereka kecewa serapan susu sapi lokal berkurang.
Peternak dan pengepul susu Boyolali berharap pemerintah dan industri pengolahan mengutamakan produksi susu lokal untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri.
Sebelumnya, para peternak sapi perah dan pengepul susu di Jawa Timur juga memprotes hal serupa. Peternak sapi di Pasuruan, Jatim, juga membuang susu hasil panen lantaran ada pembatasan jumlah pengiriman susu ke industri pengolahan.
Peternak menilai kondisi ini terjadi akibat kurangnya kontrol pemerintah terhadap susu impor. Para peternak berharap pemerintah memperhatikan pasokan susu dalam negeri.