RN - Gerak cepat atau gercep pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) membongkar kasus korupsi diduga berdampak pada ancaman.
Untuk memberikan keamanan Kejati dan Kejari, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) memberikan pengamanan.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengatakan penugasan tersebut merupakan bagian dari kerja sama pengamanan rutin dan bersifat preventif yang telah berjalan sebelumnya.
BERITA TERKAIT :Modus Korupsi Sampah Di Tangsel, Kadis LH Jadikan Penjaga Kebon Sebagai Direktur Operasional CV BSIR
"Surat telegram tersebut tidak dikeluarkan dalam situasi yang bersifat khusus, melainkan merupakan bagian dari kerja sama pengamanan yang bersifat rutin dan preventif," ujar Wahyu.
"TNI AD akan selalu bekerja secara profesional dan proporsional, serta menjunjung tinggi aturan hukum sebagai pedoman dalam setiap langkah dan kegiatannya," imbuhnya.
Penjelasan ini disampaikan Wahyu menanggapi beredarnya Surat Telegram (ST) Nomor: ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 yang memuat perintah pengerahan personel TNI ke lingkungan kejaksaan.
Ia menjelaskan dalam institusi TNI, termasuk TNI AD, terdapat berbagai klasifikasi surat sesuai dengan isi dan peruntukannya. Surat tersebut, kata dia, tergolong sebagai Surat Biasa (SB).
Adapun substansi dari surat itu berkaitan dengan kerja sama pengamanan di lingkungan Kejaksaan. Wahyu menjelaskan kegiatan pengamanan ini sebenarnya telah berlangsung sebelumnya dalam konteks hubungan antar satuan.
"Yang akan dilaksanakan ke depan adalah adanya kerja sama pengamanan secara institusi sejalan dengan adanya struktur Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer) di Kejaksaan, sehingga kehadiran unsur pengamanan dari TNI merupakan bagian dari dukungan terhadap struktur yang ada dan diatur secara hierarkis," tutur dia lebih lanjut.
Dalam ST tersebut, disebutkan pengamanan akan melibatkan 1 Satuan Setingkat Peleton (sekitar 30 personel) untuk Kejati dan 1 Regu (sekitar 10 personel) untuk Kejari.
Namun, menurut Wahyu, angka tersebut hanya merupakan gambaran struktur nominatif. Dalam pelaksanaannya, jumlah personel yang bertugas akan diatur secara teknis dalam kelompok kecil berisi dua hingga tiga orang, dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar membenarkan adanya kerja sama pengamanan dengan TNI. Ia menjelaskan pengamanan yang dilakukan oleh TNI hingga ke daerah merupakan bentuk dukungan terhadap pelaksanaan tugas institusi kejaksaan.
"Iya benar ada pengamanan yang dilakukan oleh TNI terhadap Kejaksaan hingga ke daerah (di daerah sedang berproses)," ujar Harli saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Minggu (11/5).
Dalam surat telegram tersebut, pengamanan dijadwalkan berlangsung sejak awal Mei 2025 hingga selesai.
Personel TNI yang ditunjuk berasal dari Satuan Tempur (Satpur) dan Satuan Bantuan Tempur (Satbanpur) di wilayah masing-masing, dengan pola penugasan rotasi setiap bulan. Bila kebutuhan personel tidak terpenuhi dari satuan TNI AD, maka koordinasi akan dilakukan dengan satuan TNI AL dan TNI AU setempat.
Protes Koalisi Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendesak Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mencabut Surat Telegram berisi perintah pengerahan prajurit TNI mengamankan lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.
Koalisi sipil menyebut perintah dalam ST itu bertentangan dengan banyak peraturan perundang-undangan, terutama konstitusi, Undang-undang (UU) Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI.
"Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur yang menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan, dalam siaran pers, dikutip Minggu (11/5).
Isnur mengatakan tugas dan fungsi TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan dan tidak perlu masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai instansi sipil.
"Apalagi, hingga saat ini belum ada regulasi tentang perbantuan TNI dalam rangka operasi militer selain perang (OMSP) terkait bagaimana tugas perbantuan itu dilaksanakan," ujarnya.
Koalisi, lanjut Isnur, menilai kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan. Nota kesepahaman (MoU) tersebut disebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI.
"Tujuan perintah melalui telegram Panglima TNI itu adalah dukungan pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia," kata Isnur.
Menurut Koalisi, pengamanan institusi sipil penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan tidak memerlukan dukungan dari TNI. Hal itu dikarenakan tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi pengerahan satuan TNI.
Pengamanan institusi sipil penegak hukum, menurut Isnur, cukup dilakukan oleh satuan pengamanan dalam (satpam) Kejaksaan.
"Dengan demikian, surat telegram itu sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan tindakan yang melawan hukum serta Undang-undang," imbuhnya.
Koalisi menambahkan surat perintah tersebut berpotensi memengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI.
"Pada aspek ini, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam Surat Perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia," tutur Isnur.