RN - Mohammad Riza Chalid (MRC) masih buron. Kejaksaan Agung (Kejagung) masih memburu pelaku oplosan BBM Pertalite menjadi Pertamax yang disebut merugikan negara Rp 285 triliun.
Kejagung kembali menyita aset milik Mohammad Riza Chalid (MRC), tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindak pidana asal dugaan korupsi oplosan BBM atau tata kelola minyak mentah di Pertamina
Kali ini, Kejagung menyita rumah Riza Chalid di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hal ini ditegaskan Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna dalam keterangannya, Sabtu (18/10).
BERITA TERKAIT :Anak Saudagar Minyak, Kerry Duit Banyak Tapi Hasil Oplos BBM
Anang menjelaskan rumah yang disita tersebut berada di kawasan elite, Jalan Hang Lekir XI Blok H/2, Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bangunan itu memiliki SHM atas nama anak Riza Chalid, yaitu Kanesa Ilona Riza.
Anang mengaku penyitaan dilakukan untuk memperkuat bukti dugaan keterlibatan Riza dalam kasus TPPU dan tindak pidana asal dugaan korupsi tata kelola minyak mentah.
Jejak Saudagar Minyak
Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara terkait peluang pelaksanaan sidang secara in absentia atau tanpa kehadiran tersangka Riza Chalid. Hingga kini, saudagar minyak itu belum belum diketahui berada di mana.
Terakhir, Riza terlacak di Malaysia lalu ke Jepang hingga Singapura. Beberapa syarat in absentia yakni yang bersangkutan sudah diklarifikasi, kemudian diumumkan buron secara nasional dan sudah dipanggil secara layak baik sebagai saksi maupun tersangka.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 18 tersangka. Belasan tersangka itu mulai dari Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Selain itu, Kejagung juga menetapkan saudagar minyak Mohammad Riza Chalid selaku Beneficial Owner dari PT Orbit Terminal Merak (OTM) dan anaknya Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Kejagung menyebut total kerugian negara dalam perkara korupsi tersebut mencapai Rp285 triliun yang terdiri dari kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 dan Rp91,3 triliun dari kerugian perekonomian negara.
