RADAR NONSTOP - Sebagai pusat ekonomi nasional, Jakarta menjadi perhatian. Saat ini kondisi ekonomi ibukota berada di 5,71 persen dari 6,23 persen.
Anjloknya ekonomi ibukota disebabkan beberapa faktor. Dari hasil penelusuran radar nonstop di lapangan, PHK dibeberapa perusahaan dan sepinya omzet ojeg online atau ojol bisa menjadi penyebab.
Sedangkan emak-emak mengaku kalau harga cabai kian mahal dan makin pedas.
BERITA TERKAIT :Duit Bansos DKI Rp 802 Miliar, Jangan Sampai Yang Kaya Dapat Bantuan
Jakarta Masih Ibu Kota, IKN Masih Berantakan?
Harianto mengaku, dirinya terpaksa gigit jari lantaran motor Honda Beat ditarik leasing karena pendapatan anjlok. "Tak kuat bayar cicilan motor," ujarnya saat ditemui di Grogol, Jakbar, Minggu (18/8).
Yusuf karyawan finance menyatakan dirinya bersama puluhan temannya baru saja kena PHK. "Kena PHK lalu narik ojol sambil nunggu lowongan kerja. Tapi di ojol sepi penumpang, kacau ini," bebernya.
Zuriah warga Cijantung, Jaktim mengaku kalau harga cabai mahal. "Biasa beli Rp 5 ribu bisa buat sambal. Kini harus keluar Rp 10 ribu," keluh emak-emak dua anak ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mengakui kalau capaian realisasi ekonomi makro anjlok. Ucapan ini dia sampaikan dalam sidang paripurna penyampaian Rancangan Anggaran Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2019.
Ada tiga indikator yang mempengaruhi perkembangan ekonomi makro. Pertama pertumbuhan ekonomi, dimana terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama ke triwulan kedua itu.
"Pada triwulan I 2019, ekonomi Provinsi DKI Jakarta tumbuh sebesar 6,23 persen, sementara pada triwulan II 2019 turun menjadi 5,71 persen. Realisasi pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah dibandingkan proyeksi lebih rendah pertumbuhan pada Penetapan APBD Tahun Anggaran 2019 sebesar 6,60 persen," kata Anies di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (16/8).
Indikator kedua yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi makro di DKI Jakarta adalah inflasi.
"Sedangkan, inflasi pada Triwulan I 2019 tercatat sebesar 3,01 persen dan pada Triwulan I 2019 meningkat menjadi 3,49 persen. Realisasi inflasi ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi Penetapan APBD Tahun Anggaran 2019 sebesar 3,60 persen," tambah Anies.
Lalu indikator ketiga adalah adanya pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, dan bisa jadi naik turunnya nilai tukar juga disebabkan oleh kontestasi Pemilihan Umum 2019 yang dilakukan pada triwulan ke dua pada April 2019 lalu.
"Indikator makro lainnya yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Nilai tukar Rupiah saat ini berada di atas angka Rp 14.000 per dollar Amerika, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi nilai tukar pada Penetapan APBD, yang berada pada kisaran Rp.13.500- 13.700 per dollar Amerika," tutup Anies.
Atas temuan realisasi makro ekonomi tersebut, Anies menjelaskan rencana perubahan APBD yang salah satunya meliputi asumsi makro ekonomi.
Prediksi 2020
Sementara Jokowi dalam pidato negara di Gedung DPR RI, Senayan juga menyampaikan asumi dasar ekonomi makro serta sejumlah kebijakan yang akan diambil tahun depan.
"Dengan memperhitungkan seluruh dinamika yang ada dan tantangan yang dihadapi, pemerintah mengajukan asumsi ekonomi makro tahun 2020," kata Jokowi dalam Pidato Nota Keuangan di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Pertama pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diperkirakan mencapai 5,3% dengan konsumsi dan investasi akan sebagai motor penggerak utamanya. Sementara itu inflasi akan tetap dijaga rendah pada tingkat 3,1% untuk mendukung daya beli masyarakat.
Jokowi mengatakan, di tengah kondisi eksternal yang masih dibayangi oleh ketidakpastian, nilai tukar Rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar Amerika Serikat. Pemerintah pun yakin investasi terus mengalir ke dalam negeri karena persepsi positif atas Indonesia dan perbaikan iklim investasi.
Untuk suku bunga SPN 3 bulan diperkirakan berada di tingkat 5,4%, lalu harga minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar US$65 dolar/barrel. Kondisi ini melihat sensitivitas yang tinggi terhadap dinamika global.