RADAR NONSTOP - PKS memiliki sejarah kelam dalam politik Jakarta. Gaya kaku para politisinya sering menjadi cibiran fraksi lain.
Kini PKS kembali dihadapkan situasi voting untuk memperebutkan kursi Wagub DKI. Nurmansjah Lubis yang didorong sebagai figur berhadapan dengan A Riza Patria dari Gerindra.
Sebenarnya kursi Wagub DKI dengan mudah bisa diambil PKS sebelum Pileg 2019 jika mampu melobi semua fraksi. Entah kenapa tak ada titik temu hingga dimunculkan calon baru.
BERITA TERKAIT :Dedi Mulyadi Sudah 71,5 Persen, Syaikhu Gak Laku Dan PKS Lagi Anjlok
PPP DKI Aja Ambruk, RIDO Bisa Kena Prank Sandiaga Uno?
Banyak pihak menuduh kalau PKS terlalu kaku dalam melobi. Alhasil, Paripurna tak pernah digelar hingga Pileg dan Pilpres 2019 selesai digelar.
Di tahun 2004, PKS pernah menelan pil pahit. Saat itu, Ahmad Heryawan alias Aher dijagokan maju sebagai Ketua DPRD DKI.
Aher berhadapan dengan Fraksi Partai Golkar Ade Surapriatna (almarhum). PKS gagal menyatukan koalisi dengan Demokrat dan PAN.
Dasarnya, Aher yang memiliki modal 18 anggota PKS, tinggal mencari 12 dari Partai Demokrat dan PAN yang masih-masing mengantongi suara 16 dan 6 anggota di DPRD DKI.
Sebagai pemenang Pileg 2004, PKS haikul yakin mampu merebut kursi Kebon Sirih 1. Tapi saat voting arah suara berbalik, mantan Gubernur Jawa Barat itu terpaksa gigit jari.
Saat insiden kelam itu, Nurmansjah pasti ingat. Karena saat itu dia adalah anggota DPRD DKI Jakarta dari Dapil Jakarta Pusat.
Belajar dari sejarah kelam itu sebaiknya PKS merubah cara lobinya. Harusnya dalam lobi politik, bisa menguntungkan kedua belah pihak dan bukan sekedar sowan, obrol-obrol dan pamit pulang.
Artinya gaya kaku harus ditinggalkan. Cobalah belajar bagaimana cara melobi yang jitu dan bisa diterima semua fraksi. Karena lobi politik bukanlah aturan partai yang kaku dan harus dijalankan.