RADAR NONSTOP - KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) akan menguji materi Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang - Undang tersebut baru saja disahkan DPR bersama Pemerintah Rapat Paripurna yang digelar Senin (5/10/2020).
“Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat Undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi," kata Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, dalam keterangan tertulis yang diterima radarnonstop.co, Selasa (6/10/2020).
BERITA TERKAIT :Dirujak DPR, Menteri HAM Natalius Pigai Siap Dibully Dan Dicaci
PPP DKI Si Parpol Gurem Banyak Masalah, Kader: Bengkel Motor Dan Managemen Warteg
Kata dia, sejak Februari lalu KPA konsisten menolak secara keseluruhan isi draf RUU tersebut. Bahkan kata dia, pihaknya juga telah menyampaikan sikap dan aspirasi penolakan dengan beragam cara, termasuk melalui aksi massa sejak Juli hingga September 2020 di tingkat nasional dan daerah.
Hal ini dilakukan lantaran sistem politik-ekonomi yang ada dalam undang-undang itu sama sekali tidak berpihak pada rakyat kecil kelas pekerja.
"Sebab, sistem ekonomi-politik agraria yang ultraneoliberal dalam Undang-undang Cipta Kerja, dengan cara mendorong liberalisasi lebih luas sumber agraria dan sistem pasar tanah nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi kita," katanya.
Dalam kesempatan itu, Dewi juga menyinggung sikap DPR yang dia sebut menipu rakyat. Padahal jelas, para pejabat Senayan itu memiliki titel sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat.
Menurutnya, para anggota DPR ini tak memiliki sensitivitas krisis di masa pandemi, gagal menjadi rumah sejati bagi rakyat, hingga bertindak mengelabui rakyat dengan memajukan lebih cepat Sidang Paripurna.
"Hingga memajukan Pembahasan Tingkat II yang salah satunya membahas keputusan RUU Cipta Kerja, yang sedianya dijadwalkan tanggal 8 Oktober 2020," katanya.
"Sekali lagi, kewibawaan institusi wakil rakyat, prinsip keterbukaan proses dan kepercayaan publik dihancurkan DPR RI," lanjut dia.
Dia pun mengecam keras langkah inkonstitusional yang dilakukan oleh DPR ini. Padahal, DPR diberi mandat untuk menjaga dan menegakkan konstitusi.
"Tugas legislasi (produksi UU) seolah segalanya, sehingga elit politik dan kekuasaan ini lebih memilih mengingkari UUD 1945 dan UUPA 1960 demi orientasi investasi skala besar. Banyak pula keputusan Mahkamah Konsitusi yang menyangkut agraria, hajat hidup petani dan rakyat kecil telah dilanggar dengan disahkannya UU Cipta Kerja," dia.
Misalnya, kata dia, klaim pemerintah yang diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto yang menyebut RUU yang kini telah menjadi undang-undang itu justru berpihak pada reforma agraria. Kata Dewi, pernyataan ini adalah salah satu bentuk penyesatan publik.
Hal ini kata Dewi semakin memperjelas ketidakpahaman pejabat publik dan pejabat politik tentang esensi dan prinsip pokok reforma agraria.
Reforma agraria kata Dewi dengan basis pemenuhan keadilan sosial untuk petani dan rakyat kecil tidak mungkin diletakkan dalam dasar-dasar pengadaan tanah bagi investor, yang selama ini banyak berpraktik merampas dan menggusur tanah rakyat.
"Melegitimasi hasrat ekonomi politik ultraneoliberal dengan menggunakan agenda politik kerakyatan reforma agraria sebagai tameng pengesahan UU adalah penyesatan publik," kata dia.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani berharap RUU Ciptaker dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan mempercepat kemajuan Indonesia.
DPR, kata dia, melalui fungsi pengawasan akan terus mengevaluasi pelaksanaan UU Ciptaker serta memastikannya dilaksanakan untuk kepentingan nasional.
"Apabila UU ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan UU tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ucap Puan.