RN - Kudeta politik Myanmar yang dilakukan militer makin panas. Presiden Myanmar Win Mynt, San Suu Kyi serta seluruh pejabat ditahan kubu militer.
Pemerintah Amerika Serikat menyerukan militer Myanmar untuk membebaskan para pejabat Myanmar yang ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi, dan mengancam akan adanya respons Washington atas dugaan kudeta di negara itu.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, Stéphane Dujarric mengatakan Guterres mengecam penahanan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan pemimpin politik lainnya dilakukan militer. Guterres prihatin dengan deklarasi pengalihan kekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif ke militer.
BERITA TERKAIT :Dudung Tokoh Teladan Militer Indonesia, Bisa Jadi Inspirasi Generasi Mendatang
Bidadari Bulutangkis Myanmar Pose Manja Usai SEA Games
"Perkembangan ini merupakan pukulan telak bagi reformasi demokrasi di Myanmar," kata Dujarric dalam pernyataan yang dirilis di situs resmi PBB, Senin (1/2).
Ia menambahkan hasil pemilihan umum 8 November 2020 memberikan mandat pada National League for Democracy (NLD). Hal itu menunjukkan kuatnya keinginan rakyat Myanmar untuk melanjutkan reformasi demokrasi yang telah diraih dengan susah payah.
Direktur Advokasi Human Rights Watch Asia, John Sifton tidak terkejut dengan kabar kudeta militer Myanmar. Ia mengatakan, selama berpuluh-puluh tahun, junta militer Myanmar tidak pernah benar-benar melepaskan cengkraman politiknya.
"Sejak awal mereka tidak pernah benar-benar tunduk pada kekuasaan sipil, sehingga peristiwa hari ini dalam beberapa arti tertentu hanya mengungkapkan realita politik yang sudah ada," kata Sifton, Senin (1/2).
Juru bicara partai pemerintah National League for Democracy mengatakan, dini hari tadi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan tokoh politik lainnya ditahan militer. Langkah itu terjadi beberapa hari setelah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer yang berkuasa.
Sebelumnya sudah dikhawatirkan ketegangan itu akan memicu kudeta militer yang menuduh pemilu baru-baru ini dicurangi. Pakar Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies, Murray Hiebert mengatakan pada Jumat (29/1) lalu Amerika Serikat (AS) baru saja bergabung dengan negara-negara lain meminta militer tidak melancarkan ancaman kudeta.
"China akan membela Myanmar seperti yang mereka lakukan ketika militer mengusir orang-orang Rohingya," katanya.
"Pemerintahan (Presiden AS Joe) Biden sudah mengatakan mendukung demokrasi dan hak asasi manusia, tapi petinggi militer Myanmar sudah diberi sanksi, sehingga belum dapat diketahui langkah konkret apa yang dapat AS lakukan dengan cepat," tambahnya.
Dilansir AFP, Senin (1/2/2021), Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Mynt ditahan setelah beberapa minggu terjadi peningkatan ketegangan antara militer dan pemerintah sipil atas tuduhan kecurangan dalam pemilihan umum pada November 2020 lalu.