RN - Mantan Anggota Legislatif dan Eksekutif 1999 - 2012, Mochtar Mohamad mengutarakan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia terasa begitu janggal. Perlu kita jawab dengan jujur, terdapat beberapa hal yang mendasar menjadi pijakan kita untuk evaluasi Proses Demokrasi kita saat ini.
Pertama, Undang-undang Dasar 1945, BAB VI – Pemerintah Daerah, Pasal 18 (4) yang menyatakan "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai daerah Provinsi, Kabupaten, Kota dipilih secara demokratis".
Demokratis di sini bila diterjemahkan menurut Pancasila pada sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan.
BERITA TERKAIT :Mengkritik Jokowi Berakhir Pilu, Demokrasi Yang Terkikis
KPU Buka Pendaftaran, Semoga Demokrasi Jakarta Gak Dibunuh
Artinya, pemilihan Kepala Daerah dari Gubernur, Bupati, dan Walikota bisa saja dipilih melalui Lembaga Perwakilan Rakyat (DPRD) seperti yang dilakukan pada Pilkada masa awal Reformasi.
Kedua, Undang-undang Dasar 1945, BAB VII B - Pemilihan Umum, Pasal 22 E (3) Yang menyatakan "Peserta Pemilihan Umum, untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai politik".
Melihat Pasal ini, artinya peserta Pemilu adalah Partai, dalam hal ini memilih tanda gambar sedangkan memilih calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai politik.
Sebaiknya sistem Pemilu dikembalikan seperti Pemilu awal Reformasi 1999, kewenangan memilih anggota DPR RI dan DPRD ditentukan oleh Partai politik, seperti amanah konstitusi diatas.
Ketiga, pelaksanaan Pilkada saat ini memerlukan biaya yang sangat mahal, sebagai contoh untuk pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2018, Anggaran KPU adalah Rp 1,8 Triliun Rupiah, angka tersebut belum termasuk dengan biaya Pemda, Polda, Kodam dan Bawaslu, yang tercatat menghabiskan total Anggaran Sebesar Rp 3,038 Triliun Rupiah.
Sementara untuk Pilkada Kota Depok pada tahun 2020, Anggaran KPU adalah Rp 64 Milyar Rupiah dan belem termasuk untuk APD dan Rapid Test yang ditanggung oleh Pemda.
Jika kita buat simulasi kebutuhan Anggaran Pemilihan Gubernur secara Keseluruhan di 34 Provinsi yang ada di Indonesia, dengan rata-rata Angggaran sebesar Rp 3 Triliiun per Provinsi, maka berarti akan menghabiskan total Anggaran sebesar Rp 102 Triliiun rupiah.
Sedangkan untuk Kebutuhan Anggaran Pilkada secara Keseluruhan di 514 Kota dan Kabupaten Indonesia, dengan rata rata Anggaran sebesar Rp 50 Miliar per Kabupaten/Kota, maka berarti menghabiskan total Anggaran sebesar Rp 25,7 Triliun Rupiah. Semua hal tersebut tentu belum termasuk dengan biaya uang saksi yang harus di persiapkan oleh Partai dan Paslon dalam Pilkada tersebut.
Keempat, Pilkada yang telah dilalui saat ini secara langsung dapat berdampak negatif pada polarisasi masyarakat yang ada. masyarakat terpecah menjadi faksi faksi kelompok politik dan sangat mungkin merusak kultur gotong-royong masyarakat Indonesia.
Bahkan bisa lebih membingungkan lagi kalau berbuntut pada gugatan ke PTUN, MA dan MK bagaimana kalau tiga institusi hukum itu berbeda keputusannya, belum lagi Pilkada yang dibatalkan oleh Lembaga-lembaga tersebut bisa saja terjadi kekacauan di daerah tersebut.
Kelima, Pilkada serentak yang akan dilakukan pada tahun 2024 dapat mengakibatkan kekacauan masa periodesasi pemerintahan. Sebanyak 270 Daerah yang baru saja melakukan Pilkada terpaksa harus mengikuti lagi Pilkada serentak kembali di tahun 2024.
Belum lagi adanya korban dari Pemilu serentak, Ketua KPU mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 adalah 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali, bahwa paslon yang akan dipilih oleh rakyat pada Pilkada langsung, maupun paslon yang dipilih oleh DPRD ternyata sama sama dilahirkan dari Partai politik.
Pada hakikatnya, tujuan akhir dari Demokrasi itu adalah untuk Kesejahtraan Masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya Anggaran Rakyat yang bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, justru terbuang untuk Proses Demokrasi melalui Pilkada ini.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah, secara kumulatif pada tahun 2020 mengalami kontraksi -2.07% (BPS, 2021).
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sulit untuk mencapai angka positif pada kuartal I/2021. Sesuai dengan proyeksi Kementerian Keuangan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal I/2021 akan berada di kisaran 1 persen.
Akan lebih manfaat apabila anggaran Pilkada tersebut dimanfaatkan untuk Kemandirian Ekonomi Keluarga, sehingga daya beli masyarakat meningkat dan pertumbuhan ekonomi naik yang pada gilirannya akan mengantarkan ke Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.