Jumat,  22 November 2024

Hari Pahlawan

Kota Tua Jakarta, Dinginnya Sel Yang Dirasakan Pangeran Diponogoro dan Cut Nyak Dien

Ahmad Yani
Kota Tua Jakarta, Dinginnya Sel Yang Dirasakan Pangeran Diponogoro dan Cut Nyak Dien
Ruang penjara di Kota Tua yang dikenal sadis.

RADAR NONSTOP - Kota Tua menjadi saksi sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Kawasan yang kini menjadi tempat wisata murah meriah warga ibukota itu menyimpan banyak cerita.

Dari berbagai sumber yang berhasil penulis kumpulkan, kalau Museum Sejarah Jakarta yang berada di Taman Fatahillah ternyata menyimpan berjuta misteri yang belum terpecahkan. Kemegahan bangunan yang sudah berdiri lebih dari 370 tahun tersebut tidak kalah dibandingkan ratusan gedung yang mengepungnya.

Dari sekian banyak cerita sejarah yang terkait dengan gedung yang bersebrangan dengan Stasiun Jakarta Kota tersebut, adalah penjara bawah tanahnya.

BERITA TERKAIT :
Ingin Luruskan Sejarah, MDS GP Ansor PC Jaksel: Pangeran Kuningan Bukan Klan Ba’Alwi
AC Meledak, Benda Bersejarah Museum Nasional Dilumat Si Jago Merah? 

Bangunan yang bernama Staadhuis (Balaikota), oleh masyarakat Betawi ketika itu disebut sebagai Gedung Bicara. Karena ia juga berfungsi sebagai gedung pengadilan (Raad van Justitie).

VOC mengatur kegiatannya bukan saja untuk Hindia Belanda, tapi seluruh kepentingannya di Asia Pasifik, sesuai dengan ambisi Gubernur Jenderal JP Coen ketika itu.

Di Kota Tua inilah Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro pernah dipenjarakan selama 1,5 bulan, sebelum ia diberangkatkan ke Sulawesi, setelah ditangkap di Magelang, Jawa Tengah.

Penjara itu berukuran 3x6 meter, tingginya hanya 170 sentimete itu terdapat lima ruangan penjara. Dan Untung Surapati, juga pernah meringkuk di penjara bawah tanah tersebut.

Tapi, Untung Suropati berhasil melarikan diri karena dibantu kekasihnya Susanne, seorang Belanda yang berpihak kepada perjuangannya. Pahlawan wanita dari Aceh, Cut Nyak Dien, juga pernah dipenjara di sana pada tahun 1902.

Para arapidana yang dipenjara hampir tak tahu waktu karena malam dan siang sama-sama gelap dengan kaki dirantai.

Di lantai atas gedung ini, juga terdapat ruang penyiksaan. Karena itulah, ketika pasukan Mataram pada awal abad ke-17 menyerbu Jakarta, gedung yang merupakan lambang kekejaman kolonialisme Belanda ini mendapat gempuran yang hebat dari tentara Mataram.

BACA JUGA: Anies Pidato Hari Pahlawan dan 'Rampok Duit APBD'

Pada 8 Oktober 1740, ketika terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Jakarta, di gedung ini dijebloskan sekitar 500 tawanan Cina. Hanya dua hari setelah ditahan, Gubernur Jenderal Belanda Vaickenier memerintahkan untuk membunuh mereka semua.

Di samping itu, dia juga memerintahakan membunuh ribuan penduduk Cina yang ditahan di rumah sakit. Pada peristiwa itu, tidak kurang dari 10 ribu orang Cina terbunuh.

Angke dan Glodok

Di Jakarta Kota hingga sekarang ada daerah bernama Angke. Nama Angke yang dikenal dengan Kali Angke berasal dari bahasa Cina. Ang artinya darah dan ke bangkai.

Ribuan Cina yang terbunuh itu, mayatnya bergelimpangan di mana-mana, di antaranya hanyut di kali, yang oleh penduduknya juga dinamakan Kali Angke.

Sejarah gedung itu makin penting lagi, karena pada bulan Agustus 1816 ketika terjadi pemindahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda, serah terimanya dilakukan di gedung itu pula.

Sebelum ada kereta api dan mobil, dari tempat inilah penduduk Jakarta menyewa kereta yang ditarik empat ekor kuda ke kota apabila mereka ingin ke Bogor. Perjalanan ke Bogor yang jaraknya sekitar 60 km itu ditempuh sekitar 16 jam.

Sekitar 300 meter ke selatan, terdapat daerah Glodok, yang hingga kini masih merupakan pusat perdagangan dan pertokoan terbesar di Jakarta, seperti ketika berdirinya kawasan ini hampir 300 tahun lalu.

Etnis Cina pada abad ke-18, menurut Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI, mencapai 16 persen dari seluruh penduduk Jakarta. Karena itulah sejak dulu Glodok dan sekitarnya dikenal sebagai China Town.