RN - Sahrul Gunawan merasa ditinggal. Wakil Bupati Bandung ini seperti dicuekin oleh Bupati Bandung, M. Dadang Supriatna.
Kini hubungan keduanya mulai retak. Padahal saat pilkada, Sahrul selalu jalan bareng dengan Dadang. Artis yang juga model era 90-an ini mengakui tidak pernah dilibatkan terutama dalam penanganan Covid-19.
Sahrul mengaku untuk mempertanggungjawabkan jabatannya, dia akan jalan sendiri. Mulai dari membagikan sembako untuk masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, dia juga terus melakukan sosialisasi PPKM darurat.
BERITA TERKAIT :Prabowo-Jokowi Retak, Fadli Zon Ungkap Kebocoran Anggaran
Ngeri..! Bagian Konstruksi di Kantor LH Kalideres Pada Retak Nyaris Ambruk
"Ini bukan lagi pentas politik. Perlu kedewasaan dalam berpikir, bertindak, dan bersikap. Saya sementara berjalan sendiri saja, dan terus berkomunikasi dengan masyarakat. Apabila ada masukan-masukan tentunya akan saya sampaikan kepada beliaunya," keluh Sahrul.
Retak pasangan pasca pilkada memang bukan hal baru. Dalam dunia politik, aksi saling sikut dan geser menggeser adalah hal biasa.
Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI pada taun 2014, ada 971 dari 1.026 atau 94,64 persen hasil Pilkada 2005-2013 terjadi pecah kongsi.
Retaknya pasangan kepala daerah disebabkan banyak faktor. Dari kajian Kemendagri setidaknya dua faktor penyebab yang sering terjadinya pecah kongsi.
Pertama, kepala daerah minim memberi kesempatan maupun kewenangan kepada wakilnya, disisi lain wakil kepala daerah menuntut lebih dari ketentuan Undang-undang.
Faktor kedua, kepala daerah dan wakil kepada daerah sama-sama berupaya mendapatkan simpati masyarakat dan mirisnya cenderung untuk demi citra (popularitas) untuk melenggangkan kekuasaan, bukan demi cinta rakyat.
Sedangkan hasil kajian dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia atau LIPI menyebut setidaknya ada lima faktor yang bisa menyebabkan pecah kongsi.
Pertama, koalisi yang dibangun hanya atas dasar memperkuat dukungan politik atau sebatas memenangkan Pilkada, melainkan bukan atas dasar memperkuat stabilitas pemerintahan daerah.
Kedua, koalisi yang dibangun dari dua Partai Politik maupun etnik yang berbeda atau lebih, gabungan dua basis pemilih mayoritas yang berakibat sedikit saja terjadi gesekan akan mudah terpicunya konflik.
Ketiga, celah aturan perundangan menjadi peluang saling serobot kewenangan. Keempat, kepala daerah cenderung terlalu dominan dalam pengambilan keputusan, sedangkan wakil kepala daerah kurang sadar diri dengan posisinya. Ibarat berebut kue, penemapata pejabat, mutasi dan banyak lainnya.
Kelima, sangat kuat ‘image’ (gambaran) bahwa dengan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah saran popularitas, batu loncatan untuk jabatan kekuasaan berikutnya.
Bagai-Bagi Kue
Dadang Supriatna-Sahrul Gunawan lagi tak harmonis. Dalam beberapa kasus retaknya kepala daerah penyebab terjadinya pecah kongsi akibat pembagian wewenang tidak jelas.
Jika pembagian wewenang tugas tidak jelas maka pasangan kepala daerah paling mudah dibikin peta konflik. Artinya ada kelompok yang mungkin memanasi Dadang dan Sahrul agar terjadi perselisihan.
Padahal Sahrul bisa saja meminta wewenang dalam bidang budaya, pendidikan dan kesenian. Karena, kemampuan Sahrul sebagai artis dan model bisa ditularkan ke masyarakat.
Dadang-Sahrul saat pilkada mendapat dukungan terbanyak, yakni Partai Keadilan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pembagian tugas atau kue kekuasaan khususnya di Kabupaten Bandung sebenarnya sangat mudah terjadi. Apalagi, Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah sebesar 1.762,40 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 3.717.291 jiwa.
Mayoritas warganya beragama Islam (88%). Diikuti pemeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bandung naik pada 2019. Pada 2018 ada di angka Rp927 miliar, sedangkan pada 2019 di angka 1,025 triliun.