RN-Perjuangan Serikat Pekerja PLN Group menolak kebijakan Holding dan Sub Holding dan Initial Public Offering (IPO) mendapat support dari Federasi Serikat Pekerja Global (Public Services International/PSI). PSI menilai, kebijakan holdingisasi dan privatisasi PLN tersebut bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat.
Menurut Southeast Sub regional Secretary Public Services International, Ian Mariano, privatisasi hanya akan berpotensi menaikkan harga tarif listrik.
“Berdasarkan informasi dan studi dari PSI telah terjadi kenaikan yang signifikan dari beberapa kasus yang diteliti oleh PSI, baik di Uni Eropa, Philipina dan Nigeria,” katanya dalam press conference secara daring dalam rangka HUT SP PLN pada Rabu (15/9/2021).
BERITA TERKAIT :Tom Lembong Curhat, Jalankan Perintah Jokowi Soal Impor Gula Tapi Berakhir Bui
Tom Lembong Seret Mantan Mendag, Kejagung Sepertinya Masuk Angin?
Sementara Sekjen PSI Rosa Pavanelli mengatakan, organisasi dengan lebih dari 700 serikat pekerja yang mewakili 30 juta pekerja di 154 negara ini mendukung langkah yang ditempuh SP PLN dan anak perusahaan
"Kami (PSI) dan afiliasi kami di bidang energi di Indonesia yaitu Serikat Pekerja PT PLN Persero (SP PLN Persero), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), menolak keras upaya privatisasi, melalui penggabungan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya menjadi holding perusahaan," papar Rosa.
Sebelumnya Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU), yang khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah. Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).
Dalam suratnya kepada Presiden Jokowi, Rosa menyampaikan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah memutuskan segala upaya untuk memprivatisasi listrik, dalam bentuk apapun, adalah inkonstitusional. "Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketenagalistrikan merupakan sektor produksi yang penting bagi negara dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak," ucapnya
"Listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon," tambah Rosa.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon.
"Ini seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025," tukasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum SP PLN, M Abrar Ali dan Sekjen SP PJB Dewanto Wicaksono kembali menekankan soal pernyataan sikap yang disampaikan akhir Juli 2021. "SP-PLN Grup dengan tegas menolak holdingisasi PLTP jika tidak diserahkan kepada PLN sebagai holding perusahaanya," tegasnya.
Pihaknya juga menolak jika holdingisasi PLN dilanjutkan dengan privatisasi atau penjualan saham PLN atau anak perusahaanya melalui mekanisme IPO di pasar modal.
"Jika privasitasi PLN itu dilakukan dan swasta masuk yang notabene berorientasi untung, dampaknya akan memacu kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik inilah hampir dipastikan terjadi jika PLN sudah dikuasai swasta yang nota bene profit oriented," papar Abrar.
Ia menambahkan, para pengambil kebijkan di negeri ini bahkan Presiden Jokowi hendaknya menilik sejarak. Bagaimana perjuangan para perintis PLN yang dengan susah payah dengan korban darah dan air mata menasionalisasi perusahaan listrik Belanda menjadi PLN yang sekarang.
"Perjuangan para perintis PLN serta amanat konstitusi ini harus tetap ditegakkan. Dan PLN tidak diprovatisasi serta tdak diserahkan ke pemilik modal yang lebih mengejar keuntungan dibandingkan pelayanan ke rakyat dan bangsa," pungkas Abrar.
Sementara Sekjen SP PLN Dewanto Wicaksono sepakat sesuai putusan judicial review di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN tidak boleh diprivatisasi.
"Sektor pelayannan publik dan energi harus tetap dibawah kendali negara melalui BUMN yang langsung dikontrol DPR dan mengacu pada aturan konstitusi," terang Dewanto.
Penolakan SP PLN terkait holdingisasi dan privatisasi PLN bukan semata-mata kepentingan SP atau PLN sebagai BUMN.
"Tapi, Indonesia sebagai negara hukum maka harus menjadi konstitusi negara sebagai aturan tertinggi dan harus ditaati semua pihak termasuk Kementerian BUMN dan PLN sekalipun," kata Dewanto.