Jumat,  22 November 2024

Satelit Kemhan Sejak 2015, Mahfud MD Belum Jadi Menkopolhukam

DIS
Satelit Kemhan Sejak 2015, Mahfud MD Belum Jadi Menkopolhukam

RN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menjawab tudingan publik terkait kasus satelit slot Orbit 123 yang merugikan negara hampir Rp1 Triliun. 

Mahfud menjawab pertanyaan publik yang mengetahui kasus satelit Orbit ini sudah ada sejak 2015. Mahfud menegaskan bahwa dirinya tidak tahu-menahu kasus tersebut saat sebelum menjabat sebagai Menkopolhukam. 

BERITA TERKAIT :
Getol Garap Kasus Kakap Dan Kalahkan KPK, Kejagung Bakal Bidik Kasus Jumbo Lainnya 
Keamanan Laut Lemah, Pencurian Ikan Dan Penyelundupan Marak

Dia baru mengetahuinya saat menjabat sebagai menko bahwa saat awal pandemi, Indonesia dipanggil untuk menghadiri sidang arbitrase di Singapura. 

"Loh, tahun 2018 saya belum jadi Menko. Jadi saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya," ujarnya melalui unggahan di akun Instagramnya @mohmahfudmd pada Minggu (16/1/2022). 

Setelah mengetahui kasus satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) tersebut, Mahfud menjelaskan usahanya untuk mengundang rapat pihak yang terkait. Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut merasa kejanggalan dikarenakan adanya pihak yang ingin menghambat. 

"Akhirnya, saya putuskan untuk minta BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT)," tegasnya. 

Mahfud berujar bahwa dia mendapatkan laporan pasca audit, ternyata ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara akan terus dirugikan. Mahfud mendapatkan dukungan dari presiden dan menteri lainnya untuk membawa hal tersebut ke ranah peradilan pidana. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia harus membayar denda uang hampir Rp1 triliun terkait pelanggaran hukum di balik kontrak pembayaran sewa satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kemhan periode 2015-2016.

Uang sebanyak itu wajib dibayarkan kepada dua perusahaan yakni, Avanti Communications Grup dan Navayo. Sebab Pengadilan Arbitrase Inggris pada 9 Juli 2019 telah memutus bahwa Kemhan harus membayar uang senilai Rp515 Miliar kepada Avanti. 

Sedangkan, pada Mei 22 Mei 2022 pengadilan Arbitrase Singapura mengabulkan gugatan Navayo. Di mana Indonesia diwajibkan membayar uang sebesar USD20,9 juta atau setara Rp314 miliar. 

Kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. 

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain. 

Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemkominfo memenuhi permintaan Kemhan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). 

Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015. 

Seiring berjalannya waktu, Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu kepada Kemkominfo. Lalu, pada 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda 2 dan Nusantara A1A kepada PT. Dini Nusa Kusuma. Namun demikian, perusahaan itu tak mampu mengatasi permasalahan dalam pengadaan Satkomhan.