RN - Rencana menaikkan tarif tiket ke stupa Candi Borobudur hingga Rp750 ribu wisatawan lokal dan 100 dolar AS khusus pelancong asing jadi polemik.
Ide tarif baru itu dicetus Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk membatasi pengunjung naik ke atas Candi Borobudur.
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra mencermati polemik terjadi karena pemerintah terburu-buru dalam membuat suatu pernyataan atau kebijakan.
BERITA TERKAIT :Rakyat Ribut, Opung Luhut Nyerah Juga Soal Tiket Candi Borobudur
Dihujat Soal Tiket Candi Borobudur 750 Ribu, Opung Luhut Emosi Ke DPR
"Kebijakan yang tanpa kajian apalagi tidak terbuka hasil kajiannya, tentunya ini dapat membuat kegaduhan publik," jelasnya kepada Radarnonstop.com, beberapa saat lalu.
Azmi memaparkan, jika memperhatikan pasal 72 dan 73 UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, demi perlindungan cagar budaya memang diberikan wewenang untuk pengaturan zonasi. "Namun di sini (pengaturan zonasi) perlu persyaratan berupa kajian terlebih dahulu, harus terbuka bagaimana konsep dan tujuannya apa? Apa ada rencana revitalisasikah? ada perubahankah? Ini perlu diinformasikan kepada publik," imbuh Azmi.
Karena syarat pengaturan zonasi yang sifatnya imperatif sesuai pasal 73 ayat 4 UU Cagar Budaya, harus melalui hasil kajian dan demi peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Jika ini belum dilakukan maka kebijakannya (tarif baru Candi Borobudur) cacat hukum dan bertentangan dengan undang-undang cagar budaya, termasuk undang undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," tegas Azmi.
Jadi, lanjut Azmi, sekalipun Pasal 72 UU Cagar budaya berkonsekuensi kepada menteri yang dapat menggunakan kewenangannya, termasuk menunjuk dalam operasionalnya kepada badan usaha pariwisata, namun idealnya tetap harus ada kajian hukumnya.
Ia mengingatkan, secara yuridis dan sosiologis adalah hak masyarakat untuk mendapatkan keterbukaan informasi terhadap kebijakan pemerintah demi melindungi wisata cagar budaya.
"Jika ini tidak diinfokan jangan salahkan publik jika menduga ada sesuatu yang ditutupi atau motif lain yang akan diusahkan oleh pemerintah maupun badan usaha pariwisata Borubodur," ujarnya lagi.
Oleh karenanya, Azmi mendorong pemerintah harus membuat tim kajian dan mempublikasi secara transparan hasil kajiannya ke publik. Termasuk, terbuka soal pertimbangan pemerintah sehingga tarif ke stupa Candi Borobudur dikenakan tiket mahal.
Kajian ini, menurut dia, perlu disampaikan dan disosialisasikan guna membangun kesadaran masyarakat bahwa wisata cagar budaya merupakan wisata khusus. Azmi menekankan, karena Candi Borubudur itu termasuk wisata berbasis konservasi maka tidak semata masalah tarif tapi harus ada edukasi dan pelestarian.
"Artinya pemerintah harus menyampaikan pesan pada masyarakat bahwa perlindungan tidak hanya diselesaikan melalui aspek kompensasi tapi juga nilai edukasi dalam wisata. Bagaimana karakter masyarakat diajak untuk menjaga lingkungan untuk kelestarian kawasan wisata Borobudur termasuk mendorong kesejahteraan, ini point penting dalam kajian," urai Azmi yang juga dosen hukum pidana di Universitas Trisakti.