Jumat,  22 November 2024

Dari Mekkah, La Nyalla: Saya Akan Pimpin Gerakan Lawan Oligarki! 

Tori
Dari Mekkah, La Nyalla: Saya Akan Pimpin Gerakan Lawan Oligarki! 
Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalaitti/Dok pribadi

RN - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan DPD RI daan Partai Bulan Bintang (PBB) terkait Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). 

"Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Selain menolak permohonan gugatan kedua pemohon, dalam pembacaan konklusi Ketua MK mengatakan bahwa Pemohon I (DPD RI) juga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

BERITA TERKAIT :
La Nyalla Mattalitti Disebut Mundur dari Pencalonan Ketum PSSI?
Program La Nyalla Ini Dinilai Sudah Basi!

Sementara itu, Pemohon II (PBB) yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Akan tetapi, kata Anwar Usman, pokok permohonan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum. MK tetap pada pendpatnya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan merupakan open legal policy (kewenangan pembuat UU). 

Dalam perkara tersebut, pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu. Bunyi pasal tersebut ialah pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang penuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pada bagian pertimbangan hukum yang dibacakan oleh hakim Manahan M.P. Sitompul, Pemohon I yang terdiri atas Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin masing-masing sebagai Wakil Ketua DPD RI mempersoalkan berlakunya Pasal 222.

Pemohon menilai pasal tersebut telah menderogasi dan menghalangi hak serta kewajiban Pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra dan putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Selain itu, adanya ketentuan ambang batas tersebut hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.

Padahal, begitu banyak putra dan putri yang mampu serta layak menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Oleh karena itu, berlakunya Pasal 222 UU 7/2017 telah merugikan hak konstitusional Pemohon I.

Sementara itu, menurut Pemohon II, sebagai partai politik peserta pemilu yang meraih suara sebanyak 1.099.849 atau setara 0,79 persen, seharusnya memiliki hak konstitusi mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman tersebut, Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti menyatakan kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini 

"Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki," tegas La Nyalla dalam keterangannya dari Mekkah, Saudi Arabia.

La Nyalla menambahkan, kedaulatan rakyat sudh final dala sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. "Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan amendemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2000 silam," terangnya. 

"Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik," imbuh 
senator asal Jawa Timur ini. 

Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, La Nyalla mengaku heran pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal, nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A konstitusi.

"Dan yang paling inti adalah majelis hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan," tandas La Nyalla.