“POWER tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kalimat Lord Acton yang terkenal mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah.
“Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup”.
Karena itu, kekuasaan eksekutif atau Presiden harus dibatasi. Melalui pengawasan ketat agar tidak menyimpang dan berkembang menjadi kekuasaan absolut, kekuasaan tirani, kekuasaan sewenang-wenang, yang pasti korup.
BERITA TERKAIT :Tunjangan Rumah Dinas Gaduh, DPR Sebaiknya Belajar Ke DPRD DKI
Proyek Rumdin Selalu Masalah, Kini Anggota DPR Dapat Duit Cas Setiap Bulan
Lembaga yang mengawasi eksekutif dinamakan Parlemen, terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang menyebut dirinya ‘perwakilan rakyat’. Kelompok tersebut diberi identitas partai politik.
Parlemen yang terdiri dari perwakilan partai lolitik tersebut mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi membuat undang-undang sebagai lembaga legislatif.
Parlemen harus mengawasi Presiden agar roda pemerintahan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Parlemen juga harus mengawasi penggunaan anggaran (fiskal) negara, untuk kepentingan masyarakat luas, untuk mencapai keadilan sosial.
Selain itu, parlemen juga wajib membuat undang-undang yang berpihak kepada kepentingan bangsa, dan mengawasi pemerintah agar selalu patuh terhadap perintah undang-undang tersebut.
Semua itu menjelaskan betapa pentingnya fungsi parlemen sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan presiden, khususnya di dalam sistem presidensial di mana Presiden mempunyai kekuasaan sangat besar.
Kalau fungsi parlemen ini dijalankan dengan benar dan jujur maka praktis sebagian besar permasalahan bangsa sudah terselesaikan dengan sendirinya, dengan memberlakukan dan melaksanakan peraturan dan undang-undang yang adil dan berpihak kepada kepentingan bangsa.
Sebagai contoh, peraturan dan undang-undang anti-monopoli diberlakukan untuk menciptakan persaingan pasar sempurna (prefect market competition) yang adil bagi semua pelaku pasar.
Kalau undang-undang anti-monopoli tersebut dijalankan dengan benar, maka dengan sendirinya akan tercipta industri yang lebih efisien, alokasi faktor produksi lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan merata.
Sebaliknya, apabila undang-undang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu, tidak adil, dan bertentangan dengan kepentingan bangsa, maka undang-undang tirani tersebut dapat memicu kekacauan, memicu perpecahan bangsa, menuju jurang kehancuran. Misalnya, UU KPK atau UU Cipta Kerja, yang ditengarai banyak pihak tidak pro kepentingan bangsa, sempat memicu protes dan demo dari berbagai kelompok masyarakat, bahkan menelan korban.
Apa jadinya kalau undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, atau undang-undang anti-demokrasi, diberlakukan? Apakah bangsa ini akan menjadi lebih baik, atau malah membawa negara ini menjadi negara tirani menuju jurang kehancuran?
Artinya, parlemen mempunyai peran kritikal dalam menentukan nasib bangsa di masa depan, menentukan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Semua ini tergantung dari partai politik, apakah dapat mengendalikan parlemen dan membuat undang-undang yang pro-rakyat, apakah dapat mengawasi presiden secara efektif, atau malah mendukung presiden menjalankan roda pemerintahan secara tirani?
Kalau parlemen menjalankan fungsinya secara benar, maka fungsi presiden menjadi tidak terlalu penting lagi. Pemilihan Presiden (Pilpres) bukan lagi merupakan peristiwa istimewa.
Pilpres menjadi lebih sederhana, hanya fokus kepada calon presiden yang mampu taat hukum berdasarkan rule-of-law, serta bermoral dan beretika tinggi.
Permasalahan kementerian teknis dapat dengan mudah diselesaikan oleh para teknokrat dalam bidangnya masing-masing.
Karena, tugas utama presiden hanya menjalankan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Apabila Presiden tidak taat dan menyimpang dari peraturan dan undang-undang tersebut, maka Parlemen wajib menegur, kalau perlu memberhentikan Presiden dalam hal terjadi pelanggaran berat, misalnya pelanggaran konstitusi, pelanggaran HAM atau pelanggaran berat lainnya.
Karena itu, partai politik tidak perlu memagari kekuasaannya dengan menetapkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi 20 persen. Sebaliknya, semakin banyak calon presiden, semakin baik bagi bangsa ini, dan semakin besar kemungkinan mendapat calon presiden yang taat hukum dan bermoral tinggi, yang dapat menjalankan peraturan dan undang-undang secara adil.
Partai politik tidak boleh menjadikan presiden sebagai ‘petugas partai’. Setiap orang yang menjadi presiden wajib membebaskan dirinya dari identitas partai politik.
Mereka harus bersumpah untuk taat pada semua peraturan dan undang-undang, serta konstitusi.
Partai politik yang menyatakan presiden (dan kepala daerah) sebagai ‘petugas partai’ secara jelas berniat melanggar konstitusi.
Karena, partai politik secara konstitusi mengendalikan parlemen, dan kini juga berniat mengendalikan Presiden sebagai ‘petugas partai’, melanggar fungsi parlemen sebagai pengawas presiden, dan menciptakan tirani partai politik.
Penyatuan fungsi eksekutif dan parlemen oleh partai politik sedang berlangsung sangat cepat di era reformasi, terus berkembang dan memburuk sejak 2014 ketika pengusaha ikut mengatur calon presiden.
Karena itu, demi masa depan bangsa Indonesia, rakyat wajib menuntut partai politik kembali kepada fungsi sebenarnya. Sebagai tahap awal, partai politik wajib menghapus presidential threshold menjadi nol persen.
Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).