Kamis,  25 April 2024

Siniar Salihara dalam Tiga Babak: Melihat Polemik Kebudayaan dan Sastra 1950-1980an

Tori
Siniar Salihara dalam Tiga Babak: Melihat Polemik Kebudayaan dan Sastra 1950-1980an

RN - Perlunya Indonesia punya sastra yang berpijak ke bumi, tidak kebarat-baratan dan memang berbicara tentang kondisi sosial yang memang ada di sekitar kondisi sastra itu.

Begitu kata Manneke Budiman, seorang dosen Sastra dan Cultural Studies Universitas Indonesia mengutip pernyataan Arief Budiman dalam Sarasehan Kesenian 1984. 

Pernyataan Arief tersebut direspons oleh muridnya, Ariel Heryanto yang mencetuskan kata “sastra kontekstual” untuk sastra yang berbicara mengenai kondisi sosial yang ada. Istilah tersebut yang menjadi tema utama dalam Siniar Salihara episode keempat ini. 

BERITA TERKAIT :
Tafsir Pribadi Karna dalam Pentas Surat-Surat Karna
Mengenang Seratus Tahun Kelahiran Chairil Anwar

Sastra kontekstual sejatinya merupakan bentuk kritik Arief Budiman terhadap karya-karya sastra yang lahir di era tersebut. Meskipun tidak dijabarkan secara detail seperti apa contoh sastra kontekstual dan karya siapa yang dikritik oleh Arief dalam acara tersebut, Manneke menjelaskan bahwa kritik tersebut ditujukan kepada para sastrawan yang hadir dalam forum Sarasehan Kesenian kala itu. 

“Kedua orang itu (Arief Budiman dan Ariel Heryanto) di dalam forum Sarasehan Kesenian tampaknya secara sengaja tidak menyebut karya atau pengarang tertentu. Karena yang ditembak ada di situ semua seperti Budi Darma, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damo,” jelasnya. 

Sebelum mendengarkan paparan mengenai polemik “Sastra Kontekstual”, pendengar juga bisa mengikuti diskusi di episode-episode sebelumnya seperti episode Kritik Sastra: Ilmu atau Seni? yang membahas mengenai wacana penulisan kritik di akhir 1960-an hingga awal 1980 yang begitu terkenal dan ramai dibicarakan oleh kalangan sastrawan yaitu pandangan kritik “Aliran Ganzheit” dan “Aliran Rawamangun”. 

Keduanya tentu memberikan pengaruh bagi perkembangan penelitian sastra dan penulisan sastra di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Arif Bagus Prasetyo, seorang penulis, penerjemah dan kurator seni rupa.

Bila ingin mendalami mengenai polemik yang terjadi antara Lekra — sebuah lembaga kesenian bersayap kiri — dan Manifes Kebudayaan dari 1950-1960-an, Anda bisa mendengarkan episode Polemik Kebudayaan: Belok Kiri, Turun Ke Bawah bersama dengan Zen Hae, seorang penulis, penyair, dan kritikus sastra. 

Dalam diskusi kali ini, kita akan melihat bagaimana perseteruan yang terjadi antara Lekra dan Manifes Kebudayaan dan siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.

Diskusi-diskusi lengkap tersebut dapat didengar melalui Siniar Salihara di Spotify, Apple Podcast dan aplikasi NOICE, serta dapat ditonton di kanal YouTube Komunitas Salihara. Ngomong-Ngomong Soal akan selalu hadir dengan episode terbaru setiap Senin.