MAHKAMAH Konstitusi (MK) bukan lagi penegak konstitusi. Tetapi menjelma menjadi bagian yang melanggengkan pelanggaran konstitusi.
Semua gugatan uji materi presidential threshold 20 persen dimentahkan, ditolak tanpa dasar, ditolak dengan melanggar konstitusi itu sendiri.
Ada dua alasan yang menjadi senjata pamungkas MK menolak semua permohonan uji materi. Pertama mengenai kedudukan hukum pemohon atau legal standing. MK akan menjaga agar pemohon tidak mempunyai legal standing, sehingga tidak bisa menggugat.
BERITA TERKAIT :DPRD Tangsel Tancap Gas, Kebut 12 Raperda Di 2025
PPP DKI Aja Ambruk, RIDO Bisa Kena Prank Sandiaga Uno?
Kedua terkait alasan open legal policy. Menurut MK, DPR mempunyai wewenang konstitusional menentukan presidential threshold, berapapun, sesukanya, sepanjang disetujui DPR dan disahkan menjadi UU. Artinya, presidential threshold sebagai open legal policy sah secara konstitusi, menurut MK.
Kedua alasan MK tersebut sangat mengada-ada, tidak profesional, sewenang-wenang alias tirani, hanya untuk mempertahankan UU yang merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi, bertentangan dengan kepentingan publik dan konstitusi.
Dalam uji legal standing (kedudukan hukum) MK menganut 'kepentingan langsung' atau direct interest. Menurut MK, hanya pihak yang mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi (judicial review): menguji sebuah UU terhadap konstitusi.
'Kepentingan langsung' diartikan pihak pemohon mempunyai kerugian konstitusional secara langsung akibat diberlakukannya sebuah UU.
Terkait uji materi presidential threshold, pemohon yang mempunyai kerugian konstitusional antara lain yang mempunyai kualifikasi tidak diragukan untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden. Artinya, rakyat biasa yang tidak mempunyai kualifikasi meyakinkan sebagai calon presiden, dianggap tidak mempunyai kerugian konstitusional, dan tidak bisa mengajukan permohonan uji materi.
Uji legal standing menurut direct interest seperti dijelaskan di atas sudah usang, sudah ditinggalkan. Mahkamah hampir di seluruh negara demokrasi dan negara maju dunia sudah menganut uji legal standing lebih luas, beralih dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik): legal standing pemohon dianggap relevan sepanjang mewakilkan kepentingan publik yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU.
Alasannya, konstitusi adalah hukum publik, dibuat untuk melindungan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata. Artinya, hukum publik (hukum adminitratif) pada prinsipnya bukan mengenai hak individu, melainkan tentang kesalahan publik (public wrongs) dalam menjalankan prinsip keadilan dan kewajaran hukum publik: Hal ini sebenarnya yang menjadi pokok gugatan uji materi presidential threshold.
Maka itu, pendapat MK bahwa hanya pihak yang mempunyai 'kepentingan langsung' yang dapat mengajukan permohonan uji materi sepenuhnya salah memahami fungsi konstitusional MK. Artinya, MK tidak kompeten dan layak dibubarkan.
Kedua, dalam hal pemohon mempunyai legal standing, MK akan menghalangi dengan alasan presidential threshold merupakan open legal policy DPR, karena itu, menurutnya, sah secara konstitusi. Artinya, MK berpendapat bahwa DPR mempunyai wewenang konstitusional secara mutlak dalam menentukan presidential threshold: 20 persen, 30 persen atau bahkan 50 persen, semua sah menurut MK.
Alasan ini lebih vulgar lagi, secara terang-terangan bertentangan dengan konstitusi. Pertama, dalam konstitusi tidak boleh ada interpretasi open legal policy, karena akan menjadi sumber kekacauan hukum.
Konstitusi Pasal 6A ayat (2) mengatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa ada interpretasi lain: konstitusi tidak mencantumkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold): Artinya, tidak boleh ada ambang batas pencalonan presiden. Maka itu, open legal policy yang mengatur presidential threshold, secara terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, DPR tidak mempunyai hak dan wewenang konstitusional apapun untuk mengubah (bunyi) konstitusi, terlebih melalui UU yang dimaksudkan sebagai open legal policy. Karena UU yang dibuat DPR secara hierarki berada di bawah konstitusi, dan tidak bisa koreksi konstitusi.
Selain itu, dan yang terpenting dari semuanya, lembaga tinggi negara yang mempunyai wewenang konstitusional untuk mengubah (makna) konstitusi adalah MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Artinya, sekali lagi, lembaga DPR tidak mempunyai wewenang konstitusional sama sekali untuk mengubah konstitusi, termasuk melalui open legal policy.
Dengan mengakui open legal policy terkait presidential threshold sah menurut konstitusi berarti MK sudah merampas, mengambil secara tidak sah, hak dan wewenang konstitusional DPD yang merupakan bagian dari MPR. Tindakan ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, hakim MK layak diberhentikan, dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)