Jumat,  22 November 2024

Fungsi Legislasi DPR Biasa Saja Eh Malah Sibuk Diplomasi Hingga Juri Kecantikan

Tori
Fungsi Legislasi DPR Biasa Saja Eh Malah Sibuk Diplomasi Hingga Juri Kecantikan
Ketua DPR Puan Maharani/Humas DPR RI

RN - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengevaluasi kinerja DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani. Terutama, pada masa sidang V yang dimulai 17 Mei sampai 7 Juli 2022. 

Dalam laporan yang dirilis dengan judul 'Serba Ngebut Kerja DPR hanya Formalitas' pada Sabtu (13/8/2022), Formappi menilai Puan Maharani tidak fokus dalam memperbaiki kinerja DPR. Puan justru mampu meluangkan waktu untuk menjadi juri pada ajang pemilihan Puteri Indonesia 2022 dan menonton Formula E.

"Itu menunjukkan bahwa Ketua DPR tidak fokus dalam memperbaiki kinerja DPR yang terseok-seok. Performa DPR seharusnya menjadi perhatian utama pimpinan DPR daripada urusan lainnya," kata peneliti Formappi, Lucius Karus dalam webinar.

BERITA TERKAIT :
DPRD Tangsel Tancap Gas, Kebut 12 Raperda Di 2025
PPP DKI Aja Ambruk, RIDO Bisa Kena Prank Sandiaga Uno?

Selama masa sidang V, Formappi menyoroti fungsi legislasi DPR tidak maksimal. Dalam laporan evaluasi Formappi, tercatat 11 RUU yang disahkan, hanya tiga yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022. 

"Delapan RUU lainnya merupakan RUU Kumulatif Terbuka yang semuanya terkait UU Provinsi (5 RUU) dan DOB (3 RUU DOB Papua). Dengan demikian produktivitas legislasi sesungguhnya biasa-biasa saja karena tiga RUU yang disahkan dari Daftar RUU Prioritas 2022 tentu bukan sesuatu yang mengagumkan," tuturnya.

Tambahan RUU dari klaster Kumulatif Terbuka patut dicurigai semata-mata untuk menutupi protret kinerja rendah DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. 

"Yang lebih mengecewakan adalah keputusan DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU Penanggulangan Bencana," ucapnya.

Menurut Lucius, penguatan regulasi kebencanaan sesungguhnya merupakan kebutuhan mendesak jika mengingat kerawanan bencana alam di Indonesia. Ditambah dengan ancaman bencana non-alam seperti pandemi COVID-19. Ia tak habis pikir alasan penghentian itu terkesan sangat elitis, yaitu perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR terkait posisi BNPB dalam proses pembahasan. 

"Mengapa pada pembahasan RUU Penanggulangan Bencana perbedaan sikap itu justru menjadi petaka yang menghentikan pembicaraan penting terkait regulasi kebencanaan? Ini benar-benar konyol sih," ujar Lucius. 

Lucius melanjutkan, pengesahan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) juga sulit diapresiasi karena dilakukan melalui proses yang tidak cukup partisipatif. Pro kontra mengenai mekanisme omnibus dan bagaimana hubungannya dengan revisi UU Cipta Kerja masih menggantung.

Tiba-tiba saja, lanjut dia, DPR dan pemerintah meninggalkan semua kontroversi itu dengan mengesahkan Revisi UU PPP di pekan pertama Masa Sidang V.

"Dari gerak-gerik pembahasan kilat dan minim partisipatif itu, terlihat jelas bahwa revisi UU PPP memang sekadar untuk mengantisipasi revisi UU Cipta Kerja yang karena keputusan MK terancam dibatalkan seluruhnya jika tak direvisi selama dua tahun sejak keputusan MK dibacakan," kata Lucius.

Lebih lanjut Formappi juga menyoroti penanganan kasus-kasus tindak asusila anggota DPR di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Menurutnya, MKD perlu proaktif dalam penanganan kasus asusila.

Dalam laporan evalusi itu dicontohkan, dalam satu kasus dugaan pelecehan yang diduga pelakunya anggota DPR dari Fraksi Demokrat, MKD nampak ingin menghentikan proses penyelidikan hanya karena korban tak menghadiri panggilan pemeriksaan. Keinginan MKD itu cenderung mengekspresikan ketidakpedulian mereka terhadap korban.

"Demi kepentingan korban dan juga demi kepentingan penegakan etik, tata beracara MKD semestinya disempurnakan untuk mengakomodasi prosedur baru yang memungkinkan MKD bisa berinisiatif dan proaktif dalam memulai atau melanjutkan proses penyelidikan etik terhadap anggota yang diduga melanggar kesusilaan maupun kasus pelanggaran etik lainnya," terangnya. 

Poin lainnya disoroti dalam laporan evaluasi itu terkait proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna yang cenderung sekedar formalitas. Bahkan prosedur standar sebelum pengambilan keputusan yang biasanya didahului dengan penyampaian pendapat fraksi-fraksi ditiadakan saat Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang V. 

Selain itu, proses pengetukan palu sebagai tanda sebuah keputusan disepakati Paripurna juga cenderung sesuka hati Pemimpin rapat tanpa perlu mengonfirmasi sikap anggota DPR yang hadir, bisa langsung mengetuk palu pertanda sahnya kesepakatan paripurna.

"Dengan demikian proses itu menjadi tak bermakna ketika dilakukan sekedar untuk formalitas saja. Di sisi lain, anggota DPR tetap saja malas menghadiri Rapur, bahkan agar memenuhi kuorum acapkali anggota yang izin dianggap hadir sehingga terjadi maladministrasi, bahkan korupsi," kata laporan itu.

Terakhir, Formappi mengkritik penambahan Fungsi Diplomasi Parlemen sebagai fungsi keempat DPR setelah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Menurutnya, urusan diplomasi merupakan urusan pemerintah dan peran DPR tetap sebagai pengawas. 

Formappi menyayangkan kesibukan DPR dalam menjalankan fungsi diplomasi seolah-olah mengalahkan tugas dan fungsi pokok mereka di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

"Pelaksanaan peran diplomasi yang selama ini dilakukan DPR tak jelas, pun demikian dengan hasilnya. Yang justru diekspresikan dari aktivitas diplomasi ala DPR itu adalah sikap narsis lain dari DPR," ujarnya.