Bamsoet Condong TAP MPR Jadi Payung Hukum PPHN: UU Biasa Rawan Ditorpedo
RN - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sepakat dengan opini pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, bahwa Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) harus memiliki payung hukum kuat agar tidak mudah dibatalkan.
"Prof Yusril menilai kesinambungan pembangunan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, termasuk di daerah, memerlukan PPHN sebagai payung hukum," kata Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis, dikutip hari ini.
Bambang menemui Yusril Ihza Mahendra sebagai narasumber untuk memperkuat argumentasi disertasi kandidat doktor miliknya di Studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
BERITA TERKAIT :Kursi Ketua MPR Ditukar Guling, Alhasil Golkar Dapat Jatah Menteri Banyak
Kursi Ketua MPR Dibarter, Golkar Dapat Lima Menteri Kabinet Jokowi
Bentuk hukum ideal untuk PPHN adalah Ketetapan atau TAP MPR, kata Bambang, sesuai dengan hierarki peraturan dan perundang-undangan yang menyebutkan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI 1945, TAP MPR, dan UU atau peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
Berdasarkan pandangan Yusril serta beberapa pakar hukum tata negara lainnya dalam sebuah kegiatan sarasehan tentang memperkuat status hukum ketetapan MPR dan MPRS di Gedung MPR tahun 2018, lanjut Bambang, MPR masih memiliki kewenangan dalam membuat TAP MPR yang bersifat penetapan (beschikking), bukan yang bersifat mengatur (regeling).
"Beliau-beliau memiliki kesamaan pandangan TAP MPR yang bersifat penetapan (beschikking) yang bisa dikeluarkan oleh MPR RI," tambahnya.
Misalnya, dalam UU MD3 Pasal 39 Ayat (3) secara jelas dan tegas menyatakan bahwa MPR RI dapat membuat Ketetapan MPR, dalam hal MPR memutuskan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden Pasal 39 Ayat (1) atau dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden Pasal 39 Ayat (2).
Bambang menyebutkan contoh lain, MPR dapat mengeluarkan TAP MPR yaitu Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai Tahun 2002 yang dikeluarkan pascareformasi.
Selain terkait TAP MPR RI, Yusril dan Jimly Asshiddiqie juga mendukung agar Indonesia memiliki haluan negara atau kini diberi nomenklatur PPHN.
Hal itu sebagai pedoman pembangunan nasional yang sesuai dengan perkembangan zaman menghadapi tantangan revolusi industri 4.0, society 5.0, Sustainable Development Goals (SDGs) dan Millennium Development Goals (MDGs), serta menyongsong Indonesia Emas 2045.
Setelah mengkaji berbagai alternatif payung hukum PPHN, Bambang mengaku menemukan konsep legislasi bentuk dan dasar hukum PPHN yang paling pragmatis dan progresif dengan pengembangan penerapan teori hukum transformatif dari Ahmad M. Ramly dan teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja.
"Yaitu dalam bentuk konsensus melalui konvensi ketatanegaraan yang dituangkan ke dalam TAP MPR dalam bentuk beschikking tanpa perlu melakukan amandemen konstitusi," ujarnya.
Isinya mengamanatkan dibuatnya UU tentang PPHN yang bersifat lex specialis (bersifat khusus). Sehingga untuk mengubah atau membatalkannya juga harus melalui konvensi ketatanegaraan kembali yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara yang diatur dalam UUD NRI 1945. "Mengapa? Karena jika hanya diatur dengan UU biasa, rawan 'ditorpedo' Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," pungkas Bamsoet.