RN - Proyek pembangunan Pasar Rakyat Tanggeung di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dicurigai sarat praktik korupsi. Aparat penegak hukum diminta turun mengusut proyek di atas lahan 1,5 hektare itu.
Aktivis Aliansi Masyarakat Peduli Pasar, Luhur Nugroho menuturkan, proyek itu bermula dari pengadaan lahan tahun 2017 yang ternyata milik anggota DPRD Kabupaten Cianjur 2014-2019, Yusuf Roida Faisal.
Kejanggalan muncul ketika pembelian lahan seluas 1,6 hektar itu dinilainya tidak sesuai harga wajar, yaitu Rp1,5 juta per meter.
BERITA TERKAIT :Tom Lembong Curhat, Jalankan Perintah Jokowi Soal Impor Gula Tapi Berakhir Bui
Tom Lembong Seret Mantan Mendag, Kejagung Sepertinya Masuk Angin?
"Jika model skema nya begitu, mudah sekali ditelusuri, terutama bagi penjual lahan pasar yang riskan dijebloskan ke penjara karena jual belinya tidak wajar," ujarnya.
Sumber lain menyebutkan, tanah tersebut juga bukan milik Yusuf Roida Faisal sendirian, melainkan keluarga besarnya dalam status saudara sedarah, di antaranya Rahman (mantan Kepala Sekolah SDN Tanggeung), Ade Gozali (pemilik Warung Uwak Engking, Gunung Subang), Ida Rosida beserta anaknya Neng Yulia yang berperan sebagai penghubung ke Pemda Cianjur.
Menurut Luhur, keputusan pembelian lahan ini patut diduga diwarnai dengan aksi suap menyuap di antara oknum Pemda dan DPRD setempat. "Persekongkolan ini berangkat dari masa Bupati Ivan Rivalno periode 2016-2021 yang terciduk OTT KPK pada 2018 lalu," imbuhnya.
Padahal, masih kata Luhur, jika merujuk prinsip good governance, pembelian lahan itu tidaklah mendesak. Sebab pasar yang ada sekarang di Jalan Raya Tanggeung, masih memungkinkan untuk dilakukan revitalisasi tanpa harus direlokasi.
"Apabila memang ingin dipaksakan pindah lokasi, masih banyak lahan yang layak dengan harga terjangkau, salah satunya di dekat Akan Jaya Motor (dealer Honda) atau Sekolah MAN 3 Cianjur milik H. Dadang Jengi yang masih berjarak kurang 1 km dari Pasar Tanggeung yang lama," jelasnya.
Anehnya lagi, kata dia, pengerjaan pasar baru dilakukan pada tahun 2020 yang otomatis melewati siklus penganggaran yang sudah ditentukan regulasi.
"Pemda Cianjur yang menerima anggaran pembangunan pasar tipe A senilai Rp11,5 miliar, namun realisasinya bertipe C yang seharusnya hanya Rp5,8 miliar dan bangunannya pun tidak sesuai dengan ptototipe sesuai juknis. Artinya terdapat selisih margin yang patut diusut tuntas," urai Luhur.
Dalam hal ini, dapat dipastikan setidaknya menabrak tiga regulasi sekaligus yang berpotensi kuat mengandung tindak pidana korupsi, yakni Perpres 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 61/M-DAG/PER/8/2015 tentang Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/2014 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
"Proses pembangunan pasar Tanggeung ini harus merujuk dan sesuai regulasi yang ada, cek apakah sesuai atau tidak. Jika tidak berarti sudah masuk tindak pidana korupsi dan aparat hukum harus bergerak," pungkas Luhur.