Jumat,  22 November 2024

Partai Berbasis Islam Sudah Lupa Tugas Mulianya

Tori
Partai Berbasis Islam Sudah Lupa Tugas Mulianya
Ketua DPD RI La Nyalla M Mattalitti/dok pribadi

RN - Tugas mulia partai berbasis Islam bukan hanya sekadar pilpres lima tahunan.

"Jadi sebenarnya tugas mulia di pundak partai politik berbasis Islam bukan sekedar ritual pilpres lima tahunan. Tetapi lebih dari itu, tugas mulia partai Islam adalah menempatkan Sila Pertama Pancasila, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara," ujar Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti melalui keterangannya, dikutip hari ini.

Menurut LaNyalla, dalam mengatur kehidupan rakyat, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Maka kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.
 
"Artinya jika ada kebijakan atau UU yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara, jelas kebijakan itu telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya telah melanggar Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara ini," papar dia.

BERITA TERKAIT :
Mendekati Pencoblosan, DPRD Kota Bekasi Ingatkan KPU dan Bawaslu Bekerja Profesional
TGB Zainul Majdi Mundur Dari Perindo, Mau Pindah Ke Parpol Mana Lagi?

Karena itu, lanjut LaNyalla, saat pertemuan pimpinan lembaga dengan Presiden Jokowi pada Agustus lalu, dirinya meminta ratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.
 
"Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia. Karena jelas, negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di pasal 29 ayat 1 konstitusi kita," tutur dia lagi.
 
Bahkan di ayat 2 tertulis dengan sangat jelas bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara. Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya.

"Bukan malah distigma teroris atau belakangan ini malah disebut kadrun dan radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia," tukas senator asal Jawa Timur itu.

LaNyalla juga berharap agar parpol berbasis Islam menyampaikan kepada semua elemen bangsa, bahwa bangsa ini lahir atas jasa besar umat Islam, terutama tokoh-tokoh dan para ulamanya.

Oleh karena itu, idealnya partai-partai Islam bisa mengusung kader terbaik mereka, yang tentu sejalan dengan platform perjuangan partai.

"Tetapi seperti kita ketahui adanya pasal 222 di dalam UU Pemilu, yang mengatur tentang presidential threshold, membuat partai politik tidak dapat secara ideal mengusung kader terbaik mereka sendiri," ungkapnya.

Walaupun ambang batas pencalonan tersebut sudah beberapa kali diajukan ujdicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk oleh DPD RI, namun MK tetap kepada keputusannya, bahwa PT 20 persen itu adalah open legal policy. Artinya kewenangan pembuat UU, yaitu DPR dan pemerintah.

"Seharusnya pekerjaan partai politik hari ini melalui fraksi yang ada di DPR, adalah melakukan legislatif review bersama pemerintah. Tetapi rupanya jalan itu juga tidak ditempuh oleh partai politik yang ada," katanya.

Parpol justru sibuk saling bertemu untuk menjajaki terbentuknya koalisi antarmereka, meskipun platform perjuangan partai-partai tersebut berbeda. Padahal dalam ilmu dan teori politik, koalisi seharusnya terjadi setelah pemilu dan setelah pilpres.

"Tetapi lagi-lagi karena adanya Pasal 222 di dalam UU Pemilu itulah yang membuat hal-hal yang saya sebutkan tadi terjadi," jelasnya.