RN - aliran bancakan korupsi BTS 4G Bakti Kemenkominfo mengalir ke banyak pihak. Duit proyek triliunan rupiah itu mengalir ke banyak tokoh.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) membeberkan sejumlah fakta tentang bagi-bagi uang dan aliran bancakan korupsi BTS 4G Bakti Kemenkominfo ke banyak pihak. Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, korupsi masif yang merugikan negara Rp 8,32 triliun itu sejak awal perencanaannya memang sudah ditargetkan untuk menilap uang negara.
Yakni melalui proyek pembangunan menara telekomunikasi di daerah terluar seluruh Indonesia. Boyamin mengeklaim, bagi-bagi uang dan aliran bancakan korupsi yang menyeret Menkominfo Johnny Gerard Plate menjadi tersangka itu, akan terungkap dalam sidang praperadilan yang diajukan MAKI terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi III DPR.
BERITA TERKAIT :Meutya Menkominfo, Emak-Emak: Menteri Sebelumnya Cuma Omdo, Tolong Babat Judol Mbak
Meutya Digadang Jadi Menkominfo, Jatah Golkar 5 Menteri?
Praperadilan yang diajukan MAKI, sebagai respons publik atas keengganan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menjerat para tersangka yang sudah ditetapkan, dengan sangkaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Terutama, kata Boyamin, terhadap duo tersangka Johnny Plate dan tersangka Anang Achmad Latief (AAL) selaku Dirut Bakti.
“Saya sudah datang ke Kejaksaan Agung untuk meminta penyidik menjerat tersangka JGP dan AAL ini, dan tersangka-tersangka lainnya dengan TPPU. Tetapi itu tidak dilakukan. Karena itu MAKI mengajukan praperadilan,” kata Boyamin, Jumat (16/6/2023).
Praperadilan yang diajukan MAKI sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pada Kamis (15/6/2023). “Dengan mendesak agar dikenakan TPPU ini, tujuannya untuk bisa mengungkap siapa-siapa semua pihak-pihak yang terlibat, dan yang turut menikmati uang dugaan korupsi BTS ini,” tegas Boyamin.
Ia mengungkapkan, dari hasil investigasi mandirinya, objek korupsi BTS 4G Bakti memang berada pada pembangunan dan penyediaan infrastruktur pada paket 1, 2, 3, 4, dan 5. Dari lima paket proyek tersebut ada beberapa klaster terjadinya korupsi dan TPPU. Yakni pada paket 1, 2, dan 3.
Sementara, pada paket 4, dan 5, menurut Boyamin, dari penyidikan yang dilakukan Jampidsus sementara ini, baru menetapkan tersangka terkait bancakan proyek pada paket 4 dan 5. “Ada pemain besar dalam Paket 1, 2, dan 3 yang nilai kerugian negaranya juga besar, tetapi belum tersentuh,” kata Boyamin.
Boyamin melanjutkan, dalam penyidikan terkait dengan Paket 4 dan 5, juga masih ada satu nama, yang sampai saat ini masih belum dijerat sebagai tersangka. “Itu inisialnya JS. Dan dari JS ini, dugaan nilai kerugian negaranya saja sudah sekitar (Rp) 1 triliun,” terang Boyamin.
Dari data yang diperoleh Republika.co.id pada awal penyidikan kasus ini, Paket 1 sampai 5 dalam pembangunan dan penyediaan infrastruktur BTS 4G Bakti Kemenkominfo ini terdiri dari 4.200 titik pembangunan di wilayahh terluar Indonesia. Paket 1 di tiga wilayah; Kalimantan sebanyak 269 unit, Nusa Tenggara 439 unit, dan Sumatera 17 unit. Paket 2 di dua wilayah; Maluku sebanyak 198 unit, dan Sulawesi 512 unit. Paket 3 di dua wilayah; Papua 409 unit, dan Papua Barat 545 unit.
Paket 4 dan Paket 5 di wilayah; Papua 966 unit, dan Papua 845 unit. Jumlah tersebut dari total keseluruhan pembangunan 7.000-an pembangunan menara telekomunikasi nirkabel dengan anggaran biaya mencapai Rp 28 triliun sampai 2025.
Dalam penyidikan, dugaan korupsi pada lima paket tersebut, merugikan keuangan negara Rp 8,32 triliun dari Rp 10 triliun yang sudah digelontorkan pemerintah sepanjang 2020-2022. Boyamin melanjutkan, dari dugaan dalam klaster pembangunan dan penyediaan infrastruktur BTS 4G tersebut, juga ada klasifikasi terduga pelaku korupsi lainnya. Yaitu para pemborong atau konsorsium pemenang tender pembangunan dan juga subkontraktor penyedia infrastruktur.
“Dari pemborong, dan subkontraktor ini, yang paling besar kerugian negaranya ada di subkontraktor. Terutama subkontraktor yang menyediakan baterai dan panel surya, atau power system. Karena BTS ini dibangun di wilayah yang sulit listrik,” kata Boyamin.
Kata Boyamin, para subkontraktor penyedia infrastruktur itu dikendalikan oleh satu perusahaan yang mendapatkan fee komisi sebagai jasa untuk terlibat dalam proyek tersebut. “Dari komisi sebagai koordinator itu saja, dia mendapatkan (Rp) 75 miliar, dan 2,5 juta dolar atau sekitar 40-an miliar,” ujar Boyamin.