RN - Banjir dan kemacetan masih menjadi buah bibir di Jakarta. Dua masalah ini hingga kini belum bisa diselesaikan.
Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi menyebut akibat banjir warga harus menanggung resiko kerugian materi maupun ancaman menjadi korban jiwa. Begitu pun dengan kemacetan Jakarta.
Di akhir tahun lalu Kementerian Perhubungan mengeluarkan data bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 65 triliun.
BERITA TERKAIT :Hujan Sebentar Dan Tak Besar, Jalanan DKI Sudah Ngambang
Heboh Seleksi KPID DKI, DPRD Harus Depak Wajah Lama?
Dampak ekonomi itu juga secara otomatis memunculkan efek domino akibat kemacetan, yakni dampak kesehatan warga Jakarta itu sendiri dan memburuknya kualitas udara di Jakarta yang kini sering menduduki posisi lima besar kota dengan polusi udara terburuk di dunia berdasarkan situs IQ Air.
"Karena itu Jakarta butuh pemimpin yang berkomitmen untuk melanjutkan program yang baik. Semua program prioritas seperti penanganan kemacetan dan penanggulangan banjir harus dikerjakan berkesinambungan," ujar Pras.
Politikus PDI Perjuangan itu mengakui bahwa Jakarta tidak dapat benar-benar bebas banjir mengingat letak geografis Jakarta yang berupa cekungan.
Namun, ia meyakini ketika penanggulangan dikerjakan berkesinambungan di tiap periode Gubernur, maka dampak akibat banjir dapat diminimalisir.
"Begitu pun dengan kemacetan. Jadi jangan sampai ini ada Gubernur baru bawa visi-misinya, lalu cuma kerjakan itu saja. Kalau seperti itu Jakarta akan begini-begini saja, masalah banjir dan macet gak akan selesai," tegas Pras.
Sejak Pemprov DKI Jakarta mencanangkan program normalisasi sungai di tahun 2012 silam, sheet pile atau turap yang terpasang di bibir ciliwung baru selesai 16 kilomenter dari total 33 kilometer.
Sisa 17 kilometer bibir sungai masih terbuka. Permasalahan itu belum termasuk perbaikan turap yang jebol di beberapa kawasan.
“Jadi saya minta konsen penanggulangannya. Sampai saat ini banjir di Jakarta enggak selesai, kalau ini diturap semua udah beres,” tegas Pras.
Ia juga mengimbau agar Dinas Sumber Daya Air (SDA) memperbanyak pembuatan embung, dan menyediakan pompa stasioner di titik-titik rawan genangan air yang berpotensi banjir.
“Mungkin perlu embung, perlu pompa, ajukan di sini. Nanti di rapat Banggar saya akan ketok palu. Tapi kalau enggak konsen di situ, enggak akan selesai masalah banjir,” ucap Pras.
Dalam rapat evaluasi kinerja di Komisi D bidang pembangunan DPRD DKI Jakarta beberapa waktu lalu, Pras menanyakan kemungkinan pengelolaan 13 sungai diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta dari pemerintah pusat.
Dengan dikelolanya 13 sungai yang melintasi Jakarta, ia meyakini pelaksanaan program kegiatan penanganan banjir dapat lebih fokus dan efektif.
"Saya menanyakan kepada Dinas SDA (sumber daya air) berani gak kelola 13 sungai," ucapnya.
Pasalnya, pengerjaan normalisasi sungai dengan relokasi warga di bantaran kerap kali terhambat prosedur. Di mana ketika Pemprov DKI mendapatkan kewenangan pembangunan fisik, maka harus memperoleh izin lebih dahulu dalam bentuk rekomendasi teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR.
"Terlalu berbelit-belit. Kalau kita yang kelola kan kota yang kaji, kita juga yang kerjakan," terang Pras.