RN - Jakarta lagi-lagi kebanjiran, bukan cuma air, tapi juga janji dan wacana penanganan darurat. Delapan tanggul di ibu kota ambruk dan longsor setelah diguyur hujan deras sejak Kamis lalu. Seperti biasa, air meluap, warga panik, dan pemerintah buru-buru menggelar konferensi pers.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, memastikan akan memperbaiki tanggul-tanggul yang rusak menggunakan dana Belanja Tidak Terduga (BTT). Istilahnya ‘darurat’, tapi buat warga yang rumahnya terendam, ini lebih terasa seperti darurat tahunan yang selalu datang tanpa undangan.
“Memang benar, ada beberapa tanggul rusak akibat hujan deras. Kami sudah menyiapkan anggaran BTT untuk penanganan segera,” ujar Rano, mencoba menenangkan publik.
BERITA TERKAIT :Jebol Dihantam Banjir, Tanggul Baswedan Tetap, Pramono Ogah Hapus Jejak Anies
Banjir Rob Datang Lagi, 11 Kelurahan Terancam Dikepung Air Pasang Laut
Namun, perbaikan tanggul katanya harus menunggu cuaca mendukung, yang artinya, harus menunggu hujan reda. Sebuah paradoks klasik Jakarta, banjir menunggu kering untuk diselesaikan.
Sementara pemerintah bicara soal anggaran dan satgas, warga di Jakarta Selatan masih berjaga di pinggir tanggul darurat yang hanya disangga karung pasir. Lima tanggul roboh, tiga longsor, semuanya di wilayah selatan kota. Dari Kemang sampai Pasar Minggu, dari Kali Krukut hingga Kali Ciliwung.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Hendri, menyebut penyebabnya adalah “debit air tinggi.” Sebuah penjelasan yang terdengar benar, tapi juga seperti jawaban otomatis yang muncul setiap tahun tanpa solusi baru. Setiap kali debit air naik, tanggul roboh, dan solusi sementara datang dalam bentuk tumpukan pasir serta doa agar hujan tak datang lagi.
Pemerintah memang sudah menyiapkan satgas dan pemetaan wilayah rawan. Tapi publik tahu, di Jakarta, pemetaan risiko sering lebih cepat daripada perbaikan di lapangan. Setiap musim hujan, laporan kerusakan datang lebih cepat daripada realisasi proyek.
Rano menegaskan, timnya siap bergerak cepat “tanpa menunggu laporan.” Sayangnya, tanggul-tanggul yang roboh membuktikan bahwa antara siaga dan siap ternyata ada jurang yang sama lebarnya dengan retakan di dinding beton.
Kritiknya sederhana: Jakarta seolah baru sadar pentingnya tanggul setelah roboh. Padahal, pembangunan tanggul bukan urusan darurat; itu seharusnya urusan rutin di kota yang setiap tahun diguyur air dan digenangi kelalaian.
Kini, sambil menunggu cuaca cerah dan dana BTT turun, warga kembali menumpuk karung pasir di depan rumah. Bagi mereka, istilah belanja tidak terduga mungkin terdengar aneh, karena yang mereka hadapi bukan kejadian tak terduga, tapi siklus yang selalu datang tepat waktu: hujan, banjir, rusak, janji, ulang lagi tahun depan.