RN - KPK membongkar dugaan permainan pajak. KPK menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Mohamad Haniv (HNV), sebagai tersangka.
HNV dijerat kasus gratifikasi Rp 21,5 miliar. Dibongkarnya HNV menuai cap kalau orang pajak tajir-tajir.
Hingga kini Ditjen Pajak menghormati proses hukum yang berlangsung di KPK. "DJP menghormati proses hukum yang berlaku serta berkomitmen mendukung pemberantasan tipikor melalui peningkatan integritas pegawai serta penguatan sistem pengawasan internal," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).
BERITA TERKAIT :Dua Ribu Wajib Pajak Nakal Lagi Diburu, Bakal Disikat Pemerintah
Diketahui, penetapan Haniv sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi merupakan pengembangan dari proses hukum terhadap YD pada tahun 2020. DJP menyebut tersangka Haniv sudah tidak aktif bekerja di DJP sejak 2019.
"HNV sudah tidak aktif bekerja di DJP sejak tanggal 18 Januari 2019," katanya.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Mohamad Haniv (HNV), sebagai tersangka gratifikasi. Kasus ini terjadi saat Haniv menjabat pada 2015-2018.
"Pada tanggal 12 Februari 2025, KPK menetapkan tersangka HNV selaku PNS pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (25/2).
KPK menduga Haniv menggunakan jabatannya untuk meminta sejumlah uang ke beberapa pihak. Haniv diduga menggunakan uang itu untuk kebutuhan bisnis fashion anaknya.
Jejak Haniv
Tahun 2011, Haniv menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Provinsi Banten. Kemudian pada tahun 2015–2018, Haniv menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus. Dalam jabatan itulah diduga Haniv menerima gratifikasi.
Gratifikasi pertama yang diduga diterima Haniv yakni untuk kebutuhan anaknya bernama Feby Paramita. Feby ini memiliki latar belakang pendidikan mode dan sejak 2015 mempunyai usaha fashion brand untuk pakaian pria bernama FH POUR HOMME by Feby Haniv yang berlokasi di Victoria Residence, Karawaci.
"Selama menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, tersangka HNV diduga telah melakukan perbuatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya dengan menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk kepentingan dirinya dan usaha anaknya," tutur Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/2).
Pada 5 Desember 2016, Haniv disebut mengirimkan surat elektronik atau e-mail kepada Yul Dirga selaku Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3. E-mail itu berisi permintaan untuk dicarikan sponsorship fashion show FH POUR HOMME by Feby Haniv yang akan dilaksanakan tanggal 13 Desember 2016.
Sepanjang tahun 2016–2017, keseluruhan dana kemudian masuk ke rekening BRI milik Feby Paramita berkaitan dengan pelaksanaan seluruh fashion show F.H. POUR HOMME by Feby Haniv yang berasal dari perusahaan ataupun perorangan yang menjadi wajib pajak dari Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus adalah sebesar Rp 387.000.000.
Sementara itu, dana yang masuk untuk acara tersebut yang berasal dari perusahaan atau pun perorangan yang bukan wajib pajak Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus adalah sebesar Rp 417.000.000.
Terkait penerimaan gratifikasi berupa sponsorship pelaksanaan fashion show FH POUR HOMME by Feby Haniv, Asep mengungkapkan bahwa total penerimaan adalah sebesar Rp 804.000.000.
Akan tetapi, kata dia, perusahaan-perusahaan yang memberikan uang sponsorship itu menyatakan tidak mendapatkan keuntungan atas pemberian uang untuk kegiatan fashion show tersebut atau tidak mendapat eksposur ataupun keuntungan lainnya.
KPK juga mengendus penerimaan gratifikasi Muhammad Haniv saat menjabat. Gratifikasi itu dalam bentuk valuta asing (valas).
"Bahwa pada periode tahun 2014–2022, Muhamad Haniv diduga beberapa kali menerima sejumlah uang dalam bentuk valas dolar Amerika dari beberapa pihak terkait melalui Budi Satria Atmadi," tutur Asep.
KPK belum merinci siapa Budi Satria. Namun dalam kasus ini, Asep menyebut Budi Satria melakukan penempatan deposito pada BPR menggunakan nama pihak lain dengan jumlah yang sudah diketahui sebesar Rp 10.347.010.000 dan pada akhirnya melakukan pencairan seluruh deposito ke rekening Haniv sejumlah Rp 14.088.834.634.
Pada tahun 2013–2018, Haniv kemudian melakukan transaksi keuangan pada rekening-rekening miliknya melalui Perusahaan Valuta Asing dan pihak-pihak yang bekerja pada Perusahaan Valuta Asing keseluruhan sejumlah Rp 6.665.006.000.
"Bahwa Muhammad Haniv telah diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi untuk fashion show Rp 804.000.000, penerimaan lain dalam bentuk valas Rp 6.665.006.000, dan penempatan pada deposito BPR Rp 14.088.834.634 sehingga total penerimaan sekurang-kurangnya Rp 21.560.840.634 (Rp 21,5 miliar)," pungkas Asep.