RADAR NONSTOP - Wisata halal di Danau Toba, Sumatera Utara menuai pro kontra. Ada yang mencibir ada juga yang memuji.
Diketahui, kawasan Danau Toba adalah daerah Tapanuli Utara (Taput). Di Taput, umumnya masyarakat mayoritas beragama non muslim.
Polemik wisata halal Danau Toba terus menggelinding di Sumut sepekan belakangan. Beberapa pihak menolak konsep wisata halal karena bertentangan dengan kearifan lokal penduduk yang bermukim di sekitar Danau Toba. Unjuk rasa juga digelar kelompok mahasiswa yang meminta kejelasan ihwal wisata halal ini.
BERITA TERKAIT :Gubernur Sumut Diwarning KPK Jangan Sampai Kena Borgol Dan Masuk Bui
Toba Pulp Lestari Berkomitmen Mencari Solusi Bersama untuk Jawab Berbagai Persoalan yang Muncul
Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi menyatakan ada yang mendramatisasi pernyataannya terkait wisata halal di Danau Toba. Akibatnya, informasi yang menyebar jadi salah.
Terkait dengan wisata halal di Danau Toba itu, Edy memberikan analogi bahwa di setiap daerah, ada orang-orang yang datang ke tempat tersebut, tidak dipandang apa agamanya. Tetapi untuk orang Islam, ada kebutuhannya terhadap makanan yang halal.
"Setiap daerah, ada orang datang ke situ, kita tidak memandang apa pun itu agamanya. Tetapi kalau ada orang Islam datang ke tempat itu, contoh di Bali, ada makanan di situ, rumah makan halal. Di Thailand yang mayoritas beragama Buddha, tapi di situ ada rumah makan halal," kata Edy di Nias, Selasa (3/9/2019).
Namun, kata Edy, dalam konteks Danau Toba, bukan berarti semua rumah makan yang ada di situ harus rumah makan yang halal. Persepsi inilah yang keliru.
"Itu yang menjadikan salah. Ini orang-orang yang tidak mengerti," katanya.
Yang terpenting, kata dia, orang mau datang dengan segala kemudahannya. Dia mencontohkan Nias, yang menjadi lokasi penyelenggaraan Sail Nias 2019. Orang tidak akan datang ke Nias jika tidak ada tempat untuk makan.
"Ini orang yang suka yang mendramatisir. Menyalah-nyalahkan. Ini yang menjadi salah," kata Edy.
Perihal rumah makan yang halal itu pun, kata Edy, kewenangannya bukan di Pemerintah Provinsi, melainkan di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pihaknya hanya sebatas memberikan saran.
"Ini kebetulan yang ngomong orang muslim, jadi itu yang dipersoalkan. Ini yang tak boleh. Bukan berarti mengecilkan arti agama lain. Oh, tidak," tutup Edy.