RADAR NONSTOP--Partai Golkar berpotensi tersungkur pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 jika KPK meningkatkan status partai paling senior itu menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh korporasi. Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP), Haris Rusly Moti.
Dalam rilis yang dikirimkan ke Radar Nonstop, Jumat (21/9/2018), Haris mengungkapkan, Partai Golkar dapat saja dihukum diskualifikasi untuk tidak menjadi peserta Pemilu. "Jika KPK pada akhirnya meningkatkan status Partai Golkar menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh korporasi, maka nasib partai paling senior itu berpotensi tersungkur menjelang Pemilu 2019," ujarnya.
BERITA TERKAIT :Mendekati Pencoblosan, DPRD Kota Bekasi Ingatkan KPU dan Bawaslu Bekerja Profesional
DPR Akui Pileg 2024 Transaksional, Mendagri: Sistem Kepemiluan Harus Didesain Ulang
Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998, Yogyakarta itu berujar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo pada Kamis, 20 September 2018, mengatakan akan membuka kemungkinan menjerat Partai Golkar sebagai tersangka jika sebagai institusi terbukti turut menerima uang korupsi dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1. Sebagaimana ditegaskan oleh pimpinan KPK, penetapan Partai Golkar sebagai tersangka yang merupakan sebuah organisasi berbadan hukum dapat dilakukan.
Hal itu, kata dia, berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. "Kami sudah menyentuh korporasi kalau dalam hal perusahaan. Tinggal nanti melihat fakta, data dan alat bukti. Apakah kemudian memang memungkinkan. Jadi kami selalu lihat tadi, datanya ada enggak, alat buktinya ada enggak," ucap Haris mengutip Agus Rahardjo.
Sebelumnya, tersangka kasus dugaan suap PLTU Riau-1, Eni Maulani Saragih, mengakui ada sebagian uang hasil korupsinya disetorkan untuk Munaslub Partai Golkar. Eni mengaku menerima uang Rp 2 Miliar dari Johannes B. Kotjo dan menyerahkan uang tersebut untuk biaya Munaslub Partai Golkar yang digelar pada pertengahan Desember 2017.
Munaslub tersebut memutuskan secara aklamasi Airlangga Hartarto yang menjabat menteri perindustrian sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Haris kembali menegaskan, sebab yang lain Partai Golkar bisa tersungkur selama era Pemerintahan Joko Widodo adalah karena "beringin" disandera melalui Airlangga Hartarto untuk menjadi pendukung pemerintah.
"Menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo yang berasal dari kader PDIP juga turut menyumbang tergerusnya elektabilitas Partai Golkar yang kini berada di level yang hampir sejajar dengan partai papan tengah," paparnya.
Lanjut Haris, hal itu diperparah lagi dengan lemahnya visi dan leadership Airlangga Hartarto sebagai ketua umum dalam menahkodai Partai Golkar. "Itu juga turut memberi kontribusi terhadap tersungkurnya elektabilitas Partai Golkar menjelang Pemilu serentak 2019. Airlangga tidak mampu menempatkan dirinya sebagai figur politik nasional yang menjadi lokomotif politik yang berperan aktif menggeret elektabilitas Partai Golkar," tukasnya.
Airlangga, dikatakan Haris, terlihat tidak seperti seorang figur politik yang sadar media, yang sering tampil di media dan di muka publik. "Airlangga lebih menonjol semata sebagai bisnisman. Dan birokrat tidak terlalu menyukai popularitas. Apalagi, sebagai pimpinan partai papan atas, Airlangga juga gagal dalam skenario power play untuk menempatkan dirinya atau kader lain Partai Golkar untuk tampil sebagai Cawapresnya Joko Widodo," imbuhnya.
Gagalnya Golkar menempatkan kadernya sebagai Cawapres juga turut mempengaruhi memudarnya pesona Partai Golkar dalam menghadapi perang politik dalam pemilu serentak tahun 2019, tandas Haris. Berdasarkan situasi yang berkembang, baik terkait peta penegakan hukum di KPK yang mengarahkan Partai Golkar sebagai tersangka korupsi korporasi, dan juga situasi lemahnya kepemimpinan Airlangga Hartarto di Golkar, ia memperkirakan, tidak menutup kemungkinan akan digelar Munaslub Partai Golkar untuk melakukan rekonstruksi, rehabilitasi dan penyelamatan politik," ia berkata.
Sebetulnya, Partai Golkar dan juga PPP adalah partai pendukung dari Koalisi Merah Putih pada Pilpres 2014. Ketika itu, Partai Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie.
Namun, kepempinan Partai Gokar yang berbeda haluan dan visi dengan pemerintah yang berkuasa kemudian menjadi alasan Pemerintahan Joko Widodo untuk merampas atau menyerobot secara paksa dengan menggelar Munaslub ilegal tandingan untuk menggusur kepemimpinan Aburizal Bakrie. "Awal mulanya kami menduga ada niat baik untuk menata ulang kehidupan kenegaraan dan tatanan politik yang telah rusak, yaitu dengan diawali dekonkstruksi terhadap jantung dan sumber kerusakan politik era reformasi, yaitu Partai Politik. Namun, perampasan secara paksa dan ilegal terhapa Partai Golkar, juga PPP, yang berseberangan dengan pemerintah tersebut pada kenyataannya terbukti hanya diniatkan untuk memperkuat kekuasaan Joko Widodo," pungkasnya.
Tidak ada niat untuk menata ulang kehidupan politik kenegaraan yang sangat berantakan saat ini, tegas Haris. "Hingga di ujung kekuasaan Pemerintahan Joko Widodo, tidak ada sama sekali tanda-tanda akan dilakukan sebuah enginering sosial politik untuk menata ulang sistem negara dan tatanan politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," terangnya.
Karena itu, di tahun politik saat ini, ia memperkirakan besar kemungkinan akan terjadi Munaslub Partai Golkar, juga Munaslub di PPP. "Jika KPK meningkatkan status hukum Ketua Umum PPP, Romahurmuzy, demikian juga status hukum Partain Golkar dalam pidana korupsi korporasi, tahta tidak untuk mereka yang tidak berhak. Tahta yang diperoleh secara ilegal berpotensi rontok lebih cepat dari yang diperkirakan," ucapnya tajam.