RADAR NONSTOP- Sumpah Pemuda sebagai rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar terhindar dari segala ancaman global. Sebab, Indonesia berdiri di atas landasan nilai, yang berfungsi sebagai pengikat segala macam perbedaan yang ada.
Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, melalui rilisnya, Jakarta, Minggu (27/10/2019).
Azis mengenang, Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagai salah satu penggagas Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyebut, nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari oleh faktor kultural, ras, wilayah atau agama tertentu saja.
BERITA TERKAIT :DPRD Tangsel Tancap Gas, Kebut 12 Raperda Di 2025
PPP DKI Aja Ambruk, RIDO Bisa Kena Prank Sandiaga Uno?
"Tapi justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia," kenang Azis.
Sayangnya, kata Azis, beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia gagap mendefinisikan dinamika politik dalam konteks Pilpres. Dimana, banyak pihak mengartikan Pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup mati mempertahankan eksistensi kelompok.
"Maka tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon “perang” justru muncul pada konteks damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks Pemilu diartikan sebagai revolusi," kata Azis.
Akibatnya, nilai persatuan bangsa Indonesia terguncang hebat. Dimana, konteks bergerak liar dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan -yang paling mencemaskan dari semuanya- kaidah keilmuan pun dikebiri.
"Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak demikian dinamis," tegas Azis.
Kata Azis, saat ini bangsa Indonesia kehilangan gugus makna Sumpah Pemuda. Salah satu contoh, rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap melanggar kode etik politik.
"Sehingga meski keduanya bersatu dalam satu kerangka kerjasama, langkah politik mereka dipahami sebagai sebuah ambivalensi yang melanggar keadaban politik. Demikian juga ketika para elit politik bersatu dan duduk bersama dalam satu kabinet kerja, tidak sedikit pihak yang kecewa," ucap Azis.
Padahal, lanjut Azis, ancaman global menjadi tantangan besar yang tidak mungkin dihadapi pemerintah secara sendiri, selain dengan menggabungkan seluruh komponen kekuatan politik di tanah air. Sebab, persatuan dan kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi benteng ancaman global.
"Mulai dari ancaman resesi ekonomi global, dinamika keamanan dunia yang terusbereskalasi, dan juga meluasnya demostrasi massa yang menandai adanya krisis legitimasi di banyak negara," jelas Azis.
"Itu sebabnya, kontestasi politik tidak pernah bisa dipahami hitam putih. Bila kita membaca konteksnya, persatuan bangsa hari ini bukan hanya baik, tapi juga menjadi hal yang urgent dilakukan," tegas politisi Golkar itu.
Atas dasar itu, Azis mengingatkan, Sumpah Pemuda diperingati bukan sebagai ajang seremoni. Tapi, sebagai pengingat bahwa nilai-nilainya harus terus dikontekstualisasi.
"Harapannya, apa yang ada dan sudah dicontohkan oleh para elit politik tersebut, bisa mengalir kebawah agar kita siap menghadapi tantangan besar ke depan," ungkapnya.
Azis menerangkan, berkaca pada Sumpah Pemuda 91 tahun lalu, bagaimana para pendiri bangsa ini sibuk mencari titik temu dan merumuskan persatuan di atas segala perbedaan dan ratusan alasan untuk bermusuhan.
"Sepatutnya, bila kita belum mampu merumuskan Sumpah Pemuda, setidaknya berlajarlah memaknainya, atau sekurang-kurangnya berusahalah menerimanya. Wallahualam bi sawab," ucap mantan Ketua Komisi III DPR itu.