RADAR NONSTOP - Pemprov DKI Jakarta akhirnya menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 133 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik, tuai kontroversi.
Soalnya, dalam salah satu poin aturan yang diterbitkan menjelang akhir 2019 tersebut, penghuni rusun atau apartemen yang tidak membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) atau service charge tidak dikenakan sanksi.
“Revisi peraturan dari 132 tahun 2018, ke 133 tahun 2019, bukannya semakin baik, malah semakin tidak karuan,” kata Johan, salah satu pemilik apartemen di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/2019).
BERITA TERKAIT :Pergub Gusuran Era Ahok Dibabat Heru, Waktu Anies Gubernur Ditolak Kemendagri
Korupsi Jumbo Rp 2,5 Triliun, Semoga Tidak Gembos, Jokowi Sindir Korting Koruptor
Peraturan tersebut terdapat dalam pasal tambahan yaitu pasal 102 C yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi permasalahan di lingkungan rusun, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) atau pengelola dilarang melakukan tindakan pembatasan atau pemutusan fasilitas dasar. Yaitu, penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas denda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian.
Kebijakan tersebut jelas membuat para penghuni rusun dan apartemen yang selama ini taat dalam membayar kewajibannya kecewa. Sebab, hal tersebut akan memicu para penghuni lainnya untuk tidak membayar IPL.
Jika hal tersebut terjadi, akan mengganggu layanan dan fasilitas di rusun. Sebab IPL merupakan sumber dana operasional dalam pengelolaan rusun atau apartemen. Seperti untuk biaya pemeliharaan gedung, lift, kebersihan lingkungan, keamanan, dan utilitas yang meliputi listrik, air bersih dan gas pada fasilitas bersama.
Misalnya jika di satu tower rusun atau apartemen dimiliki 400 orang dan separuh dari para pemilik tersebut tidak membayar IPL karena ketiadaan sanksi, lalu siapa yang akan menanggung biaya pengelolaan dan maintenance gedung
"Pemprov melarang pengelola memutuskan listrik dan air," ujar Kepala Bidang Pembinaan, Penertiban, dan Peran Serta Masyarakat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Meli Budiastuti akhir tahun lalu di Balai Kota DKI Jakarta.
Sebelumnya, Analis Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks mengatakan dalam setiap aturan pasti selalu ada implikasi.
Dalam Pergub Nomor 133 Tahun 2019 yang baru dikeluarkan tersebut ia melihat bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghalangi pengurus yang mungkin 'tidak sah' atau 'tidak diakui' atau 'yang sewenang-wenang' dalam memberikan sanksi-sanksi berdasarkan tata tertib. Dan pengurus perhimpunan seperti bisa merugikan para penghuni.
“Namun, yang saya sayangkan, ketentuan tersebut terlalu luas. Alasan-alasan yang melarang pemberian fasilitas dasar sangat variatif, bahkan dengan alasan hal-hal lain yang terkait dengan pengelolaan rumah susun yang menyebabkan kerugian bagi para pemilik dan penghuni,” kata Eddy dalam keterangan resminya, Senin (6/1/2019).
Ketentuan seperti ini, lanjut Eddy, justru bisa dimanfaatkan penghuni yang memang dengan sengaja tidak mau membayar. Penghuni tersebut akan menggunakan alasan-alasan yang bisa saja dibuat-dibuat untuk kepentingannya, mengingat alasan untuk melarang pemutusan fasilitas dasar sangat luas.
Padahal, di sisi lain, uang pengelolaan itu sangat penting. Tanpa itu, rumah susun tidak bisa beroperasi dengan baik, dan akan muncul banyak masalah seperti keamanan dan keselamatan.
Selain itu, ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR (permen).
“Justru, di dalam lampiran Permen (ada di dalam ART), malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib,” ujarnya.
Hal-hal seperti ini, kata Eddy, yang sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah. Saya tidak heran pemerintah pusat mencanangkan omnibus law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat.
“Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” pungkasnya.
Selain itu, ketika seseorang memutuskan membeli apartemen, yang dibeli adalah unit yang dipilih dan semua fasilitas yang disediakan dalam apartemen tersebut.
Dan mengenai IPL ini sudah jelas tertuang dalam UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun. Bahwa siapa pun yang mempunyai apartemen atau satuan rumah susun wajib membayar Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
Contohnya taman bermain, lift dan kolam renang yang jelas perlu dirawat secara rutin. Meski ada salah satu fasilitas yang tidak pernah dinikmati, atau lebih sering naik tangga karena tinggal di lantai bawah atau tidak pernah ke taman bermain anak karena masih bujangan.
Namun penghuni tetap harus membayar iuran untuk menanggung biaya bersama-sama dengan penghuni lainnya.
Seperti diketahui, selama ini, sanksi yang diberikan kepada para penghuni yang mengemplang IPL adalah dengan mematikan air dan listrik.
Pemadaman listrik dan air itu pun dilakukan pengurus setelah memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu 3 bulan. Jika dalam batas waktu tersebut pemilik tetap tidak mau membayar, barulah sanksi pemadaman dilakukan.