RN - Program vaksin Covid-19 di DKI Jakarta berjalan lelet. Yang tragis adalah banyak lanjut usia (lansia) yang enggan disuntik vaksin.
Diketahui, seseorang yang berusia 60 tahun ke atas atau lansia termasuk yang didahulukan atau menjadi prioritas karena memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi fatal.
Sejak 19 Maret sampai dengan 30 Maret 2021, Pemprov DKI Jakarta sedang menjalankan program vaksinasi Covid-19 untuk lansia. Tercatat vaksinasi yang sudah terjadwal untuk 316.589 NIK lansia DKI Jakarta.
BERITA TERKAIT :Pastikan Anak-anak Sudah Terimunisasi, Petugas Puskes se- Penjaringan Sweeping Polio
Ingin Warganya Sehat dan Produktif serta Aktif, Puskesmas Penjaringan Genjot Pelayanan Posyandu Lansia
Namun dari 316.589 NIK lansia DKI Jakarta, menurut data Dinas Kesehatan (Dinkes) pada pelaksanaan vaksinasi covid-19 selama 2 hari tingkat kepesertaanya rendah dan hanya diikuti oleh 8122 orang.
Dan pada 20 Maret 2021 lebih rendah lagi. Dari 5200 lansia sudah terjadwal hanya 33 lansia yang berhasil di vaksinasi covid 19.
Ketua Nasional Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia, Agung Nugroho dalam siaran persnya kepada media menyatakan miris dengan rendahnya angka vaksinasi lansia di DKI Jakarta. Apalagi ditengah gencarnya Gubernur DKI Anies Baswedan menargetkan 10 juta vaksinasi untuk warga DKI Jakarta justru pelasanaan untuk 316.589 lansia tidak sesuai target dalam 2 hari.
“Ini jelas leletnya kinerja Dinkes. Apa dia ingin merusak Anies. Jadi bukan faskesnya tidak dekat dengan domisili walaupun sudah dibuat jadwalnya dalam satu kecamatan. Bukan juga belum termanfaatkannya secara optimal alokasi vaksinasi di masing-masing faskes, itu pembenaran dari Dinkes saja,” kata Agung, Senin (22/3).
Menurut Agung, DKI Jakarta yang memiliki luas 661,5 km² dengan fasilitas jalan yang memadai dan kendaraan yang bervariasi membuat jarak tempuh bukan kendala.
“Jarak sejauh apapun, jika kesadaran dan pemahaman warga DKI Jakarta jernih dan clear terkait penting dan bermanfaatnya covid-19 yang dapat menyelamatkan jiwa pasti didatangi oleh warga dengan bersuka cita. Jadi yang lemah itu adalah sosialisasinya,” ujar Agung yang juga aktivis 98 ini.
Agung memaparkan kegagalan Dinkes dalam mensosialisasikan pentingnya covid-19 bisa dilihat dalam pola sosialisasinya yang masih menggunakan cara “pokrol bambu” yaitu dengan mengundang hanya ketua-ketua RT pada sosialisasi vaksinasi covid-19 untuk lansia, seperti di Jakpus.
“Dan itu hanya oral, tanpa dibekali selebaran atau leaflet yang dapat dibagikan oleh ketua RT ke warga, sehingga memudahkan ketua RT untuk menguatkan sosialisasi. Selebaran atau leaflet yang dibagi pasti akan di baca oleh semua anggota keluarga di rumah, dan anggota keluarga bisa menguatkan sosialisasi tersebut ke orangtuanya dan atau kakek neneknya agar mau di vaksinasi” ungkap Agung.
Agung juga menjelaskan, bahwa tidak semua kelurahan melakukan sosialisasi dengan melibatkan ketua RT. Di Jakut misalnya, ketua RT hanya dihubungi oleh lurahnya lewat WA untuk ditanyakan siapa lansia di RT-nya yang mau vaksin.
Di Jakbar lain lagi, lurah sudah melakukan sosialisasi tapi tidak ditanggapi oleh warganya dan bahkan cenderung menolak. Dan lagi-lagi sosialisasi yang dilakukan hanya sebatas oral tanpa menyebarkan selebaran atau leaflet.
Sementara di Jaksel, RT malah tidak dilibatkan baik dalam sosialisasi maupun pendataan lansia, justru data di dapat dari kader PELAYANAN TERPADU RAMAH LANSIA (PANDU RASA) yang meminta data secara personal kepada kader dasa wisma, lalu data tersebut diberikan ke kelurahan.
“Jadi jelas sukses atau gagalnya pelaksanaan vaksinasi untuk covid-19 tergantung sosialisasinya, dan tanggungjawab itu ada pada dinkes. Apalagi dalam surat Dirjen P2P Kemenkes tersebut ada pembiayaan sosialisasi. Terus apa yang sudah dilakukan Kadis Kesehatan dalam sosialisasi, kemana dana sosialisasi tersebut digunakan?,” tanya Agung.