Kamis,  18 April 2024

Makna Idul Fitri Dalam Kehidupan Sosial

RN/CR
Makna Idul Fitri Dalam Kehidupan Sosial
Drs. Aam Ruswana, M.Kes

Dalam suasana pagi hari yang khidmat berselimut rahmat dan kebahagiaan, umat Islam di seluruh dunia mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil  sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. atas limpahan karunia-Nya telah menyelesaikan ibadah puasa sebulan penuh melalui perjuangan lahir dan batin dengan meraih gelar fitrah (kembali pada  kesucian diri).

Gema takbir yang disuarakan oleh lebih satu setengah miliar umat muslim di muka bumi ini, menyeruak disetiap sudut kehidupan, di Masjid, di Lapangan, di Surau, di Musolah-musolah, di kampung di kota,  dan tempat-tempat suci lainnya yang dilanjutkan dengan salat Idul fitri.

Ibadah ini sejatinya adalah wujud kemenangan kaum muslimin dalam melatih diri, membina takwa mengharap ridlo Allah SWT.

BERITA TERKAIT :
Karim Benzema Ucapkan Selamat Idul Fitri 
DPD Gerindra Sumut Bagi Takjil dan Nasi Box Selama Ramadhan, Bang Zaki: Ini Amanat Presiden Terpilih 2024 - 2029

Sudah menjadi tradisi di Indonesia dan sebagain negara di Asia selesai melaksanakan salat Idul Fitri dilanjutkan dengan saling meminta maaf dari segala khilaf dan dosa dengan  saudara, kerabat, teman, kaum muslimin dan umat yang lainnya.

Dalam suasana kemenangan ini kita coba menghayati dan mengurai makna Idul Fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian ruhani, atau ‘kembali kepada asal kejadian manusia yang suci, kembali pada tujuan hidupnya yaitu ibadah bertakwa kepada Allah SWT. dan kembalinya manusia kepada agama.

Kembalinya Manusia Kepada Kesucian

Idul fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian ruhani, atau ‘ kembali ke asal kejadian manusia yang suci sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa setiap orang yang merayakan idul fitri berarti dia sedang merayakan kesucian ruhaninya, mengurai asal kejadiannya dan menikmati sikap keberagamaan yang benar yang di ridloi Allah SWT.

Boleh jadi selama ini manusia hatinya kering dari nur Illahi, jiwanya  gersang dari nilai-nilai agama, salah arah dan salah jalan dalam melangkah , banyak berbuat  dosa dan  kemaksiatan, dengan keagungan dan kemuliaan Ramadhan maka subur dan bersih kembali setelah dibasuh dengan melaksanakan ibadah puasa, berzikir, berdo’a, bertobat,  tarawih, tadarus dan amal-amal baik lainnya. Sebagaimana yang tersurat dalam hadits qudsi: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu sekalian,  maka Alloh pun berkata: wahai malaikatku, setiap orang yang mengerjakan amal kebaikan dan meminta balasannya sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka;  seseorang kemudian berseru: “wahai umat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah di ganti dengan kebaikan; kemudian Alloh pun berkata: wahai hambaku, kalian telah berpuasa untuku dan berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan”.    

Mendapatkan ampunan Alloh berarti kita menjadi manusia yang fitri, ( min al’ aidin ) menjadi manusia yang kembali suci bersih dari noda dan dosa.

Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antara sesama manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan. Mungkin dalam pergaulan hidup, dalam berkegiatan ekonomi, politik, budaya, pekerjaan dan sebagainya timbul gesekan-gesekan yang mengarah pada perpecahan, permusuhan dan pertengkaran maka di hari raya fitri ini dapat dijadikan sarana/ momentum untuk saling memafkan dan minta maaf atas segala kesalahan antara sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dengan pintu maaf dan senyum sapa yang tulus penuh persaudaraan dan kehangatan silaturahim antar sesama.

Dengan berlalunya bulan Ramadhan, haruslah lahir pribadi-pribadi baru, pribadi muttaqinyaitu Pribadi yang senantiasa mendambakan kedekatannya dengan Alloh azza wa jalla. Dan kedekatan dengan Alloh hanya akan dicapai apabila disertai pula untuk mendekatkan dengan sesama manusia. 

Pribadi-pribadi muttaqin adalah para pecinta Alloh, dan para pecinta Alloh tidak akan melakukan perbuatan zalim yang merugikan orang lain akan tetapi memiliki empati dan kepedulian terhadap sesama. Duka orang lain adalah duka mereka. Mereka mencintai orang lain seperti halnya mereka mencintai dirinya sendiri. 

Menyayangi orang lain seperti halnya menyayangi dan menghargai diri mereka sendiri. Dia sebarkan bantuan dan kebaikan terhadap sesama yang membutuhkan,  lebih-lebih saat ini ibadah puasa Ramadhan yang telah dilaksanakan berbeda dengan puasa Ramadhan dua tahun lalu, akibat adanya badai covid 19  telah meluluh lantakan sendi-sendi kehidupan ekonomi, yang kaya jatuh miskin, yang miskin makin menderita, yang kerja di PHK, yang sehat jadi sakit yang sakit meninggal dunia, maka kepedulian terhadap sesama menjadi hal yang utama.

لايومنواحدكم حتى حبا لي احح ما يحب لى نفسه  

Tidak dikatakan beriman ( tidak sempurna imannya ) seseorang sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri (Al Hadits).

Pribadi muttaqin tidak  tinggal diam melihat saudara-saudaranya berbalut duka karena kemiskinan, kebodohan, dan tertimpa musibah atau penyakit. 

Mereka akan bangkit baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama membantu saudaranya sesama muslim yang hidup serba kekurangnan atau tertimpa musibah. 

Membantu  dengan tenaga , dengan fikiran dengan ilmu yang dimilikinya maupun denga harta bendanya. Inilah hakikat pesan idul fitri bahwa syari’at Islam mengajarkan pada kesucian, keidahan, kebersamaan dan mengarahkan umatnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, rukun dalam kebersamaan dan bersama dalam kerukunan.

Idul Fitri Kembalinya Manusia Kepada Agama

Manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT yang terdiri dari unsur zahir (jasad) dan unsur gaib (ruh/jiwa). Jasad yang berasal dari tanah sifatnya kotor, rendah sedangkan Ruh bersipat suci. Paduan unsur bumi (jasad yang berasal dari tanah) dan langit (ruh), ini menghasilkan satu mahluk yang khas (32 : 7-10) dari gabungan dua unsur tersebut manusia memiliki karakteristik yang rumit dan komplek, dimana di dalamnya tergabung unsur kebaikan dan unsur keburukan. 

Apabila unsur ruh lebih dominan maka Ia dapat meninggi melebihi malaikat, namun bila unsur tanah yang lebih dominan ia dapat terjungkal ke jurang kehinaan bahkan lebih hina dari binatang. Oleh karena itu Allah SWT sebagai pencipta dan pemilik seluruh alam semesta (termasuk manusia) telah memberikan jalan hidup berupa agama dengan berpedoman pada Al Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

Apabila manusia menjalani kehidupan berdasarkan pada agama, maka ia akan selamat. Apabila jauh dari agama maka ia akan celaka.

Idul fitri hakikatnya adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya berupa agama.

“maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak perubahan dalam ciptaan Allah itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” ( Ar Rum : 30 )

Fitrah manusia dapat berubah dari waktu kewaktu berubah karena pengaruh pergaulan, lingkungan, budaya, pendidikan, godaan setan  dan faktor-faktor lain-lainnya. Agar fitrah itu terpelihara kesuciannya, maka hendaknya mengacu pada pola hidup yang Islami yang berlandaskanajaran  agama.

Ibadah puasa yang dilaksanakan sebulan penuh dan diahkiri dengan idul fitri hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya sengaja untuk mengubah prikaku setiap muslim menjadi orang yang semakin baik, ikhlas, sabar, jujur, peduli kaum dhuafa, meningkat ketakwaannya, seperti disinyalir dalam (QS Ali Imran : 134-135 ). 

Melalui ibadah puasa sebagai manusia yang memiliki hawa nafsu dan cenderung ingin mengikuti hawa nafsu- kita dilatih mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang berprilaku sesuai dengan fitrah aslinya.  Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWTyang terangkum  dalam ajaran agama.

Dengan menghayati pesan ayat dalam Qs. Ali Imran :183-185 dan Ar Rum : 30 tersebut diatas, maka segala aktivitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak hanya terjebak pada rutinitas ritual yang kering makna, hampa arti, akan tetapi amaliah ibadah yang kita jalankan seharusnya mampu memperbaiki kepribadian dan prilaku kita, dari kesalahan menuju kesolehan, dari kekotoran menuju kesucian, dari kebrutalan menuju keramahan, dari kekikiran menuju kedermawanan, dari kedzaliman menuju keadilan, dari pertengkaran menuju persaudaraan, dari keburukan menuju kebaikan. Itulah makna kembali pada kesucian, ketakwaan dan makna   menghadapkan wajah kepada agama yang lurus. 

Dalam akhir tulisan ini saya sertakan gambaran keadaan orang yang bertakwa menurut Al Hasan Al Basri keadaan orang yang mencapai tingkat takwa yang sebenarnya dengan ungkapan: “Anda akan menjumpai orang tersebut: “Teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana,tampak wibawanya didepan umum, jelas syukurnya dikala beruntung, menonjol qonaah ( kepuasan ) –nya dalam pembagian rizki, senantiasa berhias walaupun miskin, selalu cermat tidak boros walaupun kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, dan tidak berjalan membawa fitnah, disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, serta terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Kalau ditegur ia menyesal, kalau bersalah ia istighfar,”

Semoga Alloh SWT. mengampuni kita  orang-orang yang berbuat salah,  memberikan bimbingan, pertolongan dan cucuran rahmat serta keberkahan bagi diri, keluarga , bangsa, negara yang kita cintai ini.  Selanjutnya setelah  melaksanakan kewajiban puasa dan amaliah ramadhan selama satu bulan suci itu,  maka apa-apa yang diperoleh dari latihan, pengendalian diri berupa hikmah peningkatan taqwa, kiranya dapat mewarnai kwalitas keberagamaan kita dan menjadi modal serta  potensi yang terus ditingkatkan  pada perjalanan hidup setelah ramadhan, sehingga ajaran agama yang telah kita hayati dan kita amalkan, bisa menjadi motor penggerak serta penggugah semangat untuk selalu berbuat baik dalam kehidupan  selanjutnya. Wallohu a’lamu bissowab.

Jakarta, 1 sawal 1442 H, Dosen Universitas Respati Indonesia (URINDO) Jakarta dan Dosen STIA SANDIKTA Bekasi, Guru MTs Negeri 6 Jakarta