Sabtu,  20 April 2024

Deputi Gubernur DKI: Rumah Meida, Saksi Bisu Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI

SN/HW
Deputi Gubernur DKI: Rumah Meida, Saksi Bisu Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI

RN - Bangsa Indonesia pernah mengalami satu peristiwa penting, bersejarah dan tak terlupakan dalam benak setiap jiwa rakyat yang tinggal ditanah subur di bawah bentangan Khatulistiwa ini.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata, Dadang Solihin pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-76 mengajak seluruh elemen bangsa untuk merefleksi bagaimana ragam peristiwa terjadi saat kemerdekaan akan diproklamirkan.

Dadang mengatakan, pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, satu peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan rakyat Indonesia. Adalah peranan yang diberikan seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana Muda Tadashi Maeda, atau lebih dikenal Laksamana Maeda.

BERITA TERKAIT :
AC Meledak, Benda Bersejarah Museum Nasional Dilumat Si Jago Merah? 
Melihat Detik-detik Berdirinya Bangsa Indonesia Lewat Pembacaan Risalah BPUPKI

"Laksamana Muda Maeda memiliki peran yang cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia dengan mempersilakan kediamannya yang berada di Jl. Imam Bonjol, No.1 Jakarta Pusat sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Soekarno," ujar Dadang saat berkisah kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/8/2021).

Dadang yang pernah berkantor di Gedung Bappenas selama lebih dari 30 tahun, yang letaknya hanya beberapa meter dari kediaman Maeda menjelaskan, "Rumahnya Maeda memiliki hak imunitas dari Angkatan Darat Jepang sehingga keamanan Soekarno terjamin di sana," lanjutnya.

Dadang menuturkan, Laksamana Maeda dipandang Sukarno sebagai seseorang yang berpandangan luas, idealis, dan taat beragama. Sebagai prajurit yang sudah pernah merantau ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia saat masih dijajah Belanda, ia tahu dan paham akan cita-cita Indonesia merdeka.

"Maeda memiliki otoritas, sekalipun sikapnya, tidak bisa diartikan sebagai sikap pemerintah dan negara Jepang," ucapnya.

Lebih lanjut, salah satu contoh dikisahkan,  Dadang menyampaikan bagaimana suasana dramatis pada malam jelang Proklamasi Kemerdekaan tersebut. Menurutnya, saat itu sikap Jepang sendiri sudah berubah. Mereka wajib menjaga status quo, tidak membiarkan tindakan politik apa pun sampai Sekutu datang, dan Jepang menyerahkan kembali Hindia Belanda kepada yang (merasa) berhak.

"Bung Karno pun segera meluncur ke Istana, mencari tahu pendirian pemerintahan Jepang melalui Gunseikan terhadap rencana kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sekadar ingin tahu, kalaupun tidak mendukung secara terbuka, setidaknya Gunseikan bisa bersikap netral," kata Dadang yang ia kutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.

Setibanya di istana, Bung Karno dijumpai Ajudan Gunseikan, Kolonel Nishimura yang menegaskan bahwa Dai Nippon tidak lagi memiliki kekuasaan di sana. Karena mulai saat ini mereka hanya berfungsi sebagai polisi yang diperbantukan pada Tentara Sekutu.

"Kami menyesal atas janji-janji kemerdekaan yang telah kami berikan, tetapi pada kenyataannya kami dilarang mengubah status quo. Pihak militer tak punya lagi kekuasaan untuk membantu Anda," jawaban Nishimura yang juga dikutip Dadang.

Menurut Dadang, Bung Karno tidak gentar, ia meyakinkan Nishimura bahwa Bung Karno tidak dalam posisi ingin melawan Jepang. "Bung Karno mengatakan 'Biarkanlah kami mendapat kesempatan untuk memproklamirkan kemerdekaan. Lagi pula, tidak ada maksud kami hendak melawan Anda. Kami hanya ingin berjuang bagi kemerdekaan kami'," terang Dadang.

Lagi-lagi, kata Dadang, berbeda dengan Maeda, Nishimura bersikukuh dan tidak juga serta merta mengiyakan keinginan Bung Karno. Melihat sikap tersebut, lanjut Dadang, satu upaya terakhir yang cukup nekat diambil Bung Karno.

“Kolonel, baiklah kujelaskan, bahwa kami merencanakan untuk merebut kemerdekaan dengan kekerasan kalau perlu. Tetapi andaikata Gunseikan mau menutup mata dan membiarkan kami bertindak tanpa campur tangan secara aktif pihak militer, hasilnya sangat baik bagi semua pihak. Tentara Anda sudah letih berperang dan tidak ada gunanya melancarkan lagi perang baru untuk mempertahankan sesuatu yang tak punya arti bagi mereka. Dan sebaliknya, kami tidak ingin diserahkan kepada Sekutu sebagai inventaris. Dengan pertimbangan yang masuk akal, kami bermaksud hendak meneruskan usaha sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Tenno Heika'," ungkap Dadang menirukan diplomasi Bung Karno kepada Nishimura.

Dadang menjelaskan, gaya bung Karno berusaha meyakinkan Nishimura yakni menyebut bahwa Proklamasi itu pendek saja. Melihat makna kata-katanya, ia merupakan pernyataan yang umum. Kata bung Karno, lanjut Dadang, proklamasi bukan satu ulangan dari kepedihan dan kemiskinan.

"Bagaimana mungkin di saat itu kami menemukan ungkapan yang sangat indah untuk mengingatkan orang pada pengorbanan luar biasa dari ribuan orang yang mayatnya bergelimpangan dalam kuburan-kuburan tak dikenal di Boven Digul? Kami bahkan tidak pernah mencobanya," tutur Dadang menirukan kata-kata Bung Karno.

Dadang mengatakan, narasi panjang Bung Karno kepada Nishimura setidaknya mengandung dua pesan penting. Pertama, tahun sebelumnya saat ia diterima Tenno Heika (Kaisar Jepang), ia sudah mendapat isyarat restu untuk merdeka. Kaisar Jepang adalah kekuasaan tertinggi. Kedua, bangsa Indonesia, tetap akan meneruskan rencana memerdekakan diri dari penjajah, sekalipun harus berperang dengan tentara Jepang.

Dalam kondisi seperti itu, lanjut Dadang, sebaik-baiknya sikap adalah tidak memperpanjang diskusi dengan Nishimura. "Bung Karno pun bergegas kembali ke rumah Maeda. Di rumah Maeda Bung Karno melanjutkan perumusan naskah proklamasi dalam suasana kebatinan yang campur aduk," kata Dadang.

"Yang perlu ia sampaikan adalah sebuah isyarat; Berindak (merdeka) atau mati," pungkas Dadang.