RN - Audit atau perhitungan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI dalam kasus dugaan korupsi PT ASABRI, yang memunculkan kesimpulan kerugian negara hingga Rp22,788 triliun dianggap tidak sesuai fakta.
Sebelumnya, dalam persidangan beberapa waktu lalu, saksi ahli Dian Puji Simatupang menyebut, sumber dana investasi yang kemudian menjadi masalah di ASABRI berasal dari iuran anggota TNI-Polri, terpisah dari keuangan negara.
Sehingga, menurut dia, hal tersebut tidak bisa dianggap menimbulkan kerugian negara.
BERITA TERKAIT :Ini Modus Pemda Cari Duit, Manipulasi Perencanaan Anggaran Dan Permainan Izin
BPK Temukan Izin Tambang Masalah, Bahlil Maslah Lagi, Bahlil Oh Bahlil
Namun, baik BPK maupun kejaksaan satu paket dan satu persepsi soal kerugian negara yang mencapai Rp 22,788 triliun. Meskipun sudah banyak pihak yang menjelaskan bahwa kesimpulan demikian tidaklah tepat.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda mengatakan, bahwa sebenarnya perbedaan persepsi terkait dengan kerugian keuangan negara dalam kasus PT ASABRI sudah lama terjadi.
Ia pun mengaku memiliki pendapat yang sama seperti Dian Puji Simatupang, bahwa keuangan ASABRI bukanlah kerugian keuangan negara.
“Di sini BPK dan Pak Dian berbeda persepsi. Saya sendiri sependapat dengan Pak Dian, karena dana yang ada di ASABRI bukan keuangan negara,” kata Chairul kepada wartawan, Selasa (7/12/2021).
Menurutnya, persepsi terkait dengan fakta kerugian negara dinilai secara tidak benar.
“Ini membuktikan pandangan Pak Dian benar, kalau kerugian itu harus fix (nyata dan pasti jumlahnya),” ujar Chairul.
Lebih lanjut, Chairul mengatakan, dalam kasus tersebut bisa diproses secara hukum pidana umum, bukan tindak pidana korupsi.
“Bisa jadi ada pidananya, tapi pidana umum atau pidana di UU Asuransi,” ucapnya.
Kemudian, ia mengatakan dalam penegakan hukum kasus ASABRI memiliki masalah dalam persepsi kerugian negara yang tidak sesuai dengan teori.
“Bermasalah persepsinya (kerugian negara), tidak sesuai teori, tetapi maunya sendiri (Kejaksaan Agung),” kata Chairul Huda.
Sementara itu Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menegaskan, harus ada penegasan pemisahaan keuangan negara dan iuran ASABRI, apakah itu masuk dana keuangan negara seperti dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 atau tidak.
Selain itu, Akbar mengatakan, bahwa harus ada auditor lain yang relevan dan kompeten untuk mengatakan bahwa dana tersebut apakah termasuk kerugian negara, sehingga BPK tidak menjadi pemain tunggal dalam perhitungan dugaan kerugian negara dalam kasus ini.
“Sebaiknya BPKP dapat juga menilai. Selain itu Majelis Kehormatan Kode Etik BPK seharusnya melakukan waskat,” katanya.
Akbar menilai, jika dalam investasi saham, seharusnya ada pengawasan dan pengamanan terhadap harga saham agar tidak merugikan pihak ketiga.
Namun, menurutnya dalam penanganan kasus ASABRI, jika merujuk pada UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka sebaiknya sanksi administratif terlebih dahulu dilakukan.
Selain itu, pengembalian kerugian negara yang diutamakan, bukan hanya penghukuman badan.
Sebelumnya, aktivis HAM sekaligus praktisi hukum Haris Azhar dalam pandangannya terkait kasus seperti ASABRI atau Jiwasraya menyebut, terlihat jelas pemerintah hanya sebatas ingin melakukan penegakan hukum saja tanpa keinginan untuk memberikan kepastian hukum.
Menurut Haris Azhar, pemerintah tidak memertimbangkan dampak panjangnya yang terjadi kepada pihak ketiga atau korban yang terimbas kasus ini.
“Ada banyak pihak ketiga yang kehilangan haknya gara-gara pemerintah sekadar mau menjalankan proses hukum, tapi tidak ada perlindungan terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum,” ujar Haris, belum lama ini.