RN - Poros Mahasiswa Pejuang Rakyat Indonesia (PMPRI) menilai pemerintah pusat gagal menekan harga minyak goreng dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang membuat harga minyak goreng melonjak signifikan dan membuat gaduh Indonesia. Keputusan Menteri Perdagangan untuk menghapus HET minyak goreng kemasan disambut lonjakan harga hingga hampir 100 persen.
Tak hanya itu, minyak curah yang HET-nya dipatok Rp14.000 per liter yang disubsidi dana pungutan ekspor sawit kian sulit didapatkan oleh masyarakat. Bahkan ada dugaan minyak curah dikemas dan dijual seharga minyak goreng premium.
BERITA TERKAIT :Mahasiswa Nilai Ada Fenomena Ijonkan APBD Demi Dulang Suara di Pilkada Kota Bekasi 2024
TPT-M Gelar Dialog, Program Makan Siang Dapat Tumbuhkan Sumber Daya Hulu ke Hilir
"Bukannya menyelesaikan masalah, kisruh minyak goreng justru memasuki babak baru akibat kebijakan pemerintah yang dinilai tak berpihak pada rakyat," ujar Koordinator PMPRI, Abraham melalui keterangan tertulisnya, Kamis (21/4/2022).
Di tengah polemik minyak goreng, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebut mafia sebagai dalang di balik masalah minyak goreng. Namun, mafia yang dimaksud Mendag Lutfi masih menjadi teka-teki. "Jika benar utamanya disebabkan adanya kartel atau mafia, mengapa pemerintah tidak mampu memberantas dan menstabilkan minyak goreng di Indonesia jika sudah tahu siapa dalangnya dan mengapa masyarakat yang dipaksa menelan kenaikan harga?" kecamnya.
Padahal di negeri ini terdapat jutaan hektar lahan sawit sebagai bahan dasar minyak goreng. Di Sumatera, perkebunan kelapa sawit banyak terdapat di wilayah Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. Sementara itu, kebun sawit terluas di Indonesia kedua ada di Pulau Kalimantan dengan luas 5.820.406 hektar pada tahun 2019,meningkat dari tahun 2018 sebesar 5.588.075 hektar.
Di Kalimantan, perkebunan kelapa sawit banyak terdapat di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
"Dengan luas lahan kelapa sawit yang mencapai jutaan hektar tersebut terlihat jelas satu paradoks nyata di Iindonesia," tuturnya.
Bahkkan, merujuk data dan faktam Indonesia merupakan produsen dan penghasil CPO terbesar di dunia. "Akan tetapi fakta dan relitas yang ditelan masyarakat Indonesia adalah kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng. Ini artinya pemerintah gagap dan tidak mampu mengemban tugas negara di sektor perdagangan," tegasnya.
Abraham juga memaparkan, jika menelisik data lahan kelapa sawit hasil dari pelepasan kawasan hutan di Indonesia dari masa ke masa maka akan terang bahwa minyak goreng langka di Indonesia lantaran permainan kartel korporasi dan kartel birokrasi. Sebab dari masa ke masa kepemimpinan presiden di Indonesia terjadi pembabatan hutan untuk lahan kelapa sawit.
Ia lantas menyebut raksasa produsen minyak kelapa sawit di Indonesia di antaranya Sinarmas Group, Indofood Group, Wilmart Group, Astra Group, Musim Mas Group, Royal Golden Eagle Group. "Mereka ini adalah beberapa produsen minyak goreng di Indonesia dan mengantongi jutaan hektar izin Hak Guna Usaha lahan negara. Akan tetapi dengan jutaan hektar tersebut alhasil minyak goreng langka, dan menurut kami beberapa korporasi tersebut tidak berguna ada di Indonesia," tegas Abraham.
Oleh karenanya, PMPRI pun mendesak mendesak agar Presiden Jokowi untuk segera mencabut izin hak guna lahan yang para korporasi tu kantongi dan merekomendasikan agar CPO dikelola oleh BUMN Perkebunan milik negara. "Dalam hal ini kami juga mendesak Presiden untuk segera mencopot Menteri Perdagangan RI karena tidak mampu menjalankan tugas dengan maksimal dan disinyalir lebih mementingkan kepentingan oligarki korporasi daripada kepentingan masyarakat luas," kata Abraham.