KENAIKAN harga bahan pokok menjelang bulan puasa dan Lebaran merupakan fenomena biasa yang berulang setiap tahun. Namun, kenaikan harga komoditas pangan tahun ini sudah dimulai jauh hari sebelum Ramadan tiba, utamanya dipicu krisis pangan dan energi global.
Pemerintah, sejak awal, telah melakukan stabilisasi harga, salah satunya dengan cara menyiapkan mekanisme perlindungan bagi kelompok rentan.
Pemerintah telah memperkuat bantalan sosial untuk mitigasi dampak lonjakan harga, melalui skema bantuan sosial, seperti program pembagian sembako, keluarga harapan, dan BLT (bantuan langsung tunai) minyak goreng. Upaya ini dilakukan untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga sejumlah bahan pokok.
BERITA TERKAIT :5 Tradisi Unik Sambut Ramadan di Indonesia, Mati Lampu Sampai Tarawih Terlama
Berdasarkan kenyataan di lapangan, harga kebutuhan pangan pokok masih terus merangkak naik, kendati pemerintah sudah memastikan pasokan dan distribusi menjelang Ramadan dan Idulfitri dalam status aman.
Menu sederhana dan bergizi
Harga sejumlah komoditas, yang secara tradisional identik dengan Lebaran, yaitu daging, sudah naik sejak Januari lalu, hampir bersamaan dengan naiknya harga kedelai, bahan utama pembuatan tempe atau tahu. Kemudian disusul meroketnya harga minyak goreng.
Kebutuhan minyak goreng memang meningkat secara signfikan di bulan puasa, karena masyarakat Indonesia biasa menikmati gorengan saat berbuka puasa. Masyarakat bisa mengambil “jalan tengah” dalam merayakan Lebaran tahun ini, dengan cara mengurangi konsumsi bahan pangan yang sekiranya kurang terjangkau, seperti daging misalnya. Kalau yang sudah-sudah biasa membeli 1 kg daging, Lebaran tahun ini cukup setengahnya saja, dan kebutuhan protein bisa digantikan dengan bahan pangan lain seperti ikan air tawar, telur ,atau tempe. Dengan cara ini, kebutuhan nutrisi bagi rakyat juga tercukupi.
Gejolak global invasi Rusia ke Ukraina, telah mengganggu rantai pasok sejumlah bahan pokok, sehingga harga akan terus merangkan naik. Meski begitu, negara tetap wajib memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Ukraina adalah lumbung bagi komoditas gandum, sebagian (besar) diekspor ke Indonesia. Artinya, dalam beberapa bulan ke depan, diperkirakan akan terjadi krisis stok terigu di Tanah Air, sementara masyarakat kita sudah terbiasa mengonsumsi makanan olahan terigu, seperti roti dan mie instan.
Selain terigu, kita juga masih kekurangan kedelai, daging sapi, dan gula, yang menjadikan harganya selalu menunjukkan tren naik. Pemerintah jangan lengah dalam memastikan ketersediaan pangan, artinya selain tersedia dalam jumlah cukup, juga harus ada akses dari sisi harga bagi rakyat kebanyakan. Itulah relevansi dari skema bantuan sosial bagi masyarakat rentan selama ini, agar ketahanan pangan benar-benar aman, bukan hanya di saat momen lebaran, namun juga sepanjang waktu.
Pangan merupakan komoditas strategis yang perlu diatur agar bisa memenuhi harapan UU Pangan (UU No 18 tahun 2012), yaitu ketahanan pangan dan gizi. Regulasi sudah jelas, kini yang diperlukan adalah komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Harapan besar ada pada Bapanas (Badan Pangan Nasional), untuk mengoordinasikan dan mencari solusi berbagai masalah terkait pangan.
Pembentukan Bapanas akhir Februari lalu, diharapkan bisa mengakhiri kebijakan pangan yang selalu berubah, seiring perubahan kepemimpinan di berbagai kementerian/lembaga. Ada beberapa agenda yang perlu masuk skala prioritas Bapanas, antara lain ketersediaan dan stabilisasi pangan.
Selanjutnya adalah pencegahan kerawanan gizi, serta menjaga keberagaman konsumsi dan keamanan pangan.Program jangka pendek, untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga selama Ramadan dan Idulfitri, langkah pemerintah dengan mempermudah dan membuka keran impor berbagai macam komoditas pangan adalah cara paling realistis. Namun, dalam jangka menengah dan panjang, di tengah kian ketatnya kompetisi antara energi dan pangan global, krisis iklim, dan faktor geopolitis, ketahanan pangan Indonesia harus mampu mengurangi ketergantungan pada impor, dengan jalan menggenjot produksi dalam negeri, memperbaiki tata kelola, distribusi, dan tata niaga dari hulu hingga hilir.
Kecukupan gizi generasi baru
Dalam era pascapandemi dan pemulihan ekonomi, kita akan meneruskan mengonsumsi makanan bergizi dan sehat, seperti banyak serat, sayur serta buah. Pemerintah akan meningkatkan kepedulian pada kesehatan ibu dan anak, utamanya dalam asupan nutrisinya, terkait penyiapan generasi baru 2045 nanti.
Khusus bagi generasi now, kecukupan gizi perlu dipacu dalam konteks memperkuat kualitas pendidikan, agar mampu bersaing dengan pelajar atau pemuda negara lain. Untuk itulah perlu kecukupan gizi dan makanan berimbang.
Guru sekolah atau tenaga penyuluh kesehatan memiliki peran strategis dalam edukasi masyarakat dalam aspek kecukupan gizi. Merujuk hasil survei sebuah harian nasional, saat ini, masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi minim gizi. Makanan minim gizi yang paling digemari adalah fast food, seperti gorengan, mi instan, burger dan juga makanan beku (Kompas, 24/4/2022).
Di tengah ekosistem makanan rendah gizi, pengetahuan masyarakat memegang peran penting. Kita masih bisa merasa lega bahwa masyarakat sejatinya memiliki kemauan untuk membekali diri dengan pengetahuan. Menimba pengalaman dari program vaksinasi, pendampingan pemerintah dibutuhkan dalam hal persebaran dan pemerataannya, guna memastikan capaian kekebalan populasi (herd immunity).
Demikian juga dengan kecukupan gizi bagi generasi baru, perlu ada afirmasi dari pemerintah, soal arti penting mengonsumsi sayuran dan buah, yang banyak mengandung asupan serat, vitamin, mineral dan vitokimia. Minimnya tingkat konsumsi buah dan sayuran terlalu berisiko bagi kualitas generasi baru menuju Indonesia Emas 2045.
Ancaman serius lain bagi ketahanan pangan dan kecukupan gizi adalah perubahan iklim (climate change).
Berdasarkan laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) PBB, akhir tahun lalu, bencana lingkungan sebagai dampak perubahan iklim diperkirakan akan datang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Sehingga perlu antisipasi bagi penyelamatanmasa depan generasi baru menjelang tahun emas Indonesia.
Asia Tenggara akan menjadi salah satu kawasan paling cepat terdampak, diprediksi tak sampai 20 tahun ke depan. Sebagai konsekuensinya, anak yang lahir saat ini akan terkena dampaknya sebelum mencapai usia 30 tahun.
Bencana iklim dalam bentuk yang lebih konkret adalah pemanasan global. Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius saja, IPCC meramalkan akan terjadi kepunahan terumbu karang. Kondisi yang akan memukul 500 juta penduduk yang sumber pangannya bergantung pada keanekaragaman hayati laut, termasuk penduduk Indonesia. Itu artinya generasi yang akan datang dikhawatirkan menghadapi krisis nutrisi, utamanya protein bersumber biota laut.
Laporan Khusus Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang perubahan iklim dan kesehatan, yang diluncurkan akhir Oktober lalu, menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 26) di Glasgow (November 2021), secara jelas menyebutkan perubahan iklim menjadi ancaman kesehatan terbesar manusia.
Melihat prediksi terkait ancaman terhadap ketahanan pangan dan kecukupan gizi, kiranya sekarang saat yang tepat untuk memanfaatkan secara optimal sumber pangan yang tersedia di dalam negeri.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah mega-biodiversitas terkait keanekaragaman sumber makanan, baik di daratan maupun perairannya. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia memiliki setidaknya 100 jenis karbohidrat, 100 kacang-kacangan, 450 buah, serta 250 aneka sayuran dan jamur.
Di luar daftar ini, masih ada aneka pangan liar yang belum teridentifikasi, seperti yang biasa dikonsumsi masyarakat kultural Minangkabau dan Mandailing.Salah satu keanekaragaman hayati dimaksud adalah sagu, yang sejak berabad-abad menjadi sumber makanan masyarakat lokal yang mendukung kecukupan nutrisi. Olahan tepung sagu secara tradisional banyak dijumpai dari Aceh hingga Papua.
Di daerah Papua dan Maluku, sagu bahkan menjadi sumber utama karbohidrat, yang dalam pengolahannya biasa dilengkapi ikan seperti papeda atau kapurung. Sagu juga diolah dalam khazanah kuliner jawa, namun lebih sebagai makanan kecil.
Secara nasional, berkah keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya pangan lokal kian tergusur oleh politik pangan yang dibuat seragam. Salah satu yang menonjol adalah penyeragaman beragam karbohidrat lokal menjadi beras, selain terigu dari gandum impor. Menurut data FAO, Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar dunia, dan masih dalam transisi menuju swasembada beras.
Dengan adanya ancaman perubahan iklim, juga adanya problem geopolitik, ketika pasokan gandum dari Ukraina menjadi tersendat, situasi mutakhir ini bisa dijadikan momentum untuk menengok kembali sumber pangan lokal.
Perlu ada edukasi dan diseminasi informasi bagi warga, untuk lebih giat mengonsumsi makanan sehat yang telah disediakan keanekaragaman hayati Indonesia, seperti sayuran berdaun hijau, sagu, aneka umbi, polong-polongan, serta daging segar hasil perburuan.
Todotua Pasaribu
Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi