RN - Parliamentary Threshold merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah sistem pemilu. Dan untuk mencari solusi tentang benang kusut PT ini, pembahasannya tidak bisa berhenti pada persoalan angka semata.
“PT saling terkait dengan komponen-komponen lain dalam sistem pemilu kita, tapi ada sifat interdependensi, saling ketergantungan antara satu komponen dengan komponen lainnya, elektoral threshold, presidential threshold, sistem proporsional, dengan sistem multipartai, dengan sistem prsediensial dan seterusnya,” ujar dosen Komunikasi dan Kebijakan Publik Ilmu Komunikasi UMB Syaifuddin.
Hal itu dikatakannya dalam webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB) yang bertajuk “Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru”, melalui siaran Zoom, Sabtu (18/6/2022).
BERITA TERKAIT :Rakor Bareng KPU Kota Soal Tahapan Pemilu, Pemkot Jakut Siap Dukung Tenaga
Menggugat Presidential Threshold!
“Komponen-komponen yang ada dalam pemilu sebagai sebuah sistem ini harus dibuka dalam komponen-komponen pokok terkait sistem pemilu ini, khususnya parliamentary threshold,” sambungnya.
Pria yang akrab disapa Doktor Budi ini melihat, perdebatan pembahasan PT 4 persen sudah sering terjadi di Komisi II DPR RI tapi gagal, karena masing-masing fraksi memiliki kepentingannya sendiri.
Bagi parpol yang kontra terhadap PT 4 persen, Budi menekankan, semakin besar PT dinaikkan maka semakin besar suara rakyat yang terbuang percuma.
"Bahkan Ferry Kurnia (mantan komisioner KPU) menyampaikan ada 13,5 juta lebih suara parpol yang terbuang percuma pada Pemilu 2019 dan sembilan parpol tidak lolos PT di Pemilu 2019," ulas Budi.
Lalu, menurut dia, pemberlakuan PT ini melanggar demokrasi karena hilangnya suara yang begitu besar. PT juga mengurangi nilai proporsionalitas alokasi kursi di Senayan.
“Mustahil parpol di Senayan menurunkan PT dari 4 persen menjadi 0 persen. Yang ingin menaikkan PT dianggap parpol baru, termasuk Gelora sebagai akal-akalan parpol besar,” tukasnya.
Sementara makna dari pemberlakuan PT bagi para regulatornya adalah produk repetisi politik, logika daripada political game theory. Menurutnya, pembahasan PT ini menjadi ruang negosiasi senyap yang dilihat sebagai tipu muslihat antara parpol-parpol besar yang ada di parlemen.
"Ini adalah soal role play dalam proses kalkulasi kepentingan dan tarik menarik kepentingan parpol dan PT ini urusan rakyat yang dilupakan," ucapnya.
Pemberlakukan PT 4 persen ini dinilainya sebagai tindakan politik buta dan tuli karena tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang majemuk, kondisi di daerah. "Masalah PT yang cenderung ini akan dinaikkan semakin meningkatkan disproporsionalistas pemilu nanti, sementara perubahan revisi UU pemilu sudah tidak mungkin dilakukan, ini masalah,” paparnya.
Oleh karena itu, Doktor Budi ingin memberikan dua solusi untuk sistem kepartaian dan pemilu.
Sebagaimana diketahui, di dunia ini ada tiga sistem kepartaian yang berlaku yakni, partai tunggal, dua partai, dan sistem multipartai.
Pilihan solusi pertama, menurutnya, dengan memberlakukan three party partisipatory model atau model partisipasi tiga partai. Berbeda dengan era Orde Baru (Orba), model ini diyakini menjadi jalan keluar untuk menguatkan konsensus dan meredam pro dan kontra PT.
"Tiga partai akan mampu mengakomodasi secara efektif dan efisien semua kepentingan yang telah mengakar dalam sejarah masyarakat Indoensia, ada nasionalis, agama dan sosialis atau bisa saja komunis,” terangnya.
“Kalau kita berangkat dari sejarah dan multikultural bangsa Indoensia dari berdiri ya tiga keloimpok itu. Model three party ini barangkali bisa relevan,” sambungnya.
Gagasan kedua, dia menambahkan, deliberatif static multipartai atau model partai statik deliberatif. Ruhnya, dalam sistem pengambilan keputusan diambil dan diilhami dalam perpaduan sistem demokrasi terpimpin dan demokrasi deliberatif Jurgen Habermas sebagai rajutan sila ke-4, yang semangatnya musyawarah untuk mufakat.
“Partai yang mencapai PT yang memimpin fraksi, dan yang tidak mencapai PT adalah perwakilan di dalam fraksi. Jadi fraksi sarana politik bersama untuk musyawarah mencapai mufakat, antara parpol besar dan parpol kecil, sehingga suara yang diperoleh tidak terbuang cuma-cuma seperti 13,5 juta tadi. Penggabungan suara parpol yang tidak mencapai kepada parpol yang mencapai PT, tidak ada fusi partai, arahnya penggabungan suara parpol,” jelas Doktor Budi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Ferry Kurnia Rizkiansyah menyampaikan bahwa pihaknya sangat optimistis menembus angka 4 persen pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 mendatang.
“Bahwa kita akan mencapai 4 persen suara ya dan bahkan itu bisa saja lebih,” ungkap Ferry.
Menurut eks Komisioner KPU RI ini, sejumlah persiapan juga telah dilakukan oleh Partai Perindo. Hal itu meliputi penguatan struktur organigram partai sebagai modal awal, juga penguatan eksternal partai.
Bahkan, kata Ferry, Perindo telah membuat beragam macam gagasan, salah duanya adalah Konvensi Rakyat Perindo sebagai sarana menjaring calon-calon legislator terbaik dan menggagas Koalisi Nonparlemen.
“Konvensi Rakyat ini sudah dilakukan. Ini akan merubah narasi besar dan merubah proses demokrasi yang lebih proaktif. Kita juga menggagas Koalisi Nonparlemen, itulah menjadi hal yang kita lakukan,” ungkapnya.
Dalam webinar tersebut, turut hadir Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Elly Yuliawati, M.Si dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Heri Budianto, M.Si yang turut memberikan sambutan. Acara yang berlangsung selama 2,5 jam ini juga dihadiri oleh 295 peserta secara virtual.