Jumat,  22 November 2024

Dikotomi Jawa-Non Jawa, Hasilnya Capres Boneka

Tori
Dikotomi Jawa-Non Jawa, Hasilnya Capres Boneka
Arief Gunawan/dok pribadi

KENAPA masih ada dikotomi capres Jawa dan non Jawa di tengah pekik menggebu-gebu NKRI Harga Mati?

Karena substansi dikotomi tersebut bersumber dari mindset kolonial yang diteruskan sampai sekarang.

Dikotomi seperti itu jauh dari demokrasi yang berkeadilan, karena bersifat primordialistik dan menafikan persatuan, serta lebih mengekspresikan perpecahan.

BERITA TERKAIT :
Trump Tuding Kamala Harris Akan Bawa AS Perang Dunia Ke-3
Kamala Harris Naik, Donald Trump Anjlok 

Sejarawan Denys Lombard di buku “Nusa Jawa: Silang Budaya” misalnya menjelaskan, praktek adu domba, memecah-belah, atau mendikotomikan (devide et impera) merupakan strategi ampuh kolonialis.

Belanda sendiri baru benar-benar mempraktekkan devide et impera pada abad ke 18 setelah sebelumnya menguasai wilayah pesisir.

Karena nafsu mencari komoditas lain selain rempah-rempah, Belanda melancarkan strategi adu domba terhadap penguasa-penguasa lokal. Seperti Mataram, Banten, Cirebon, dan seterusnya.

Kerajaan-kerajaan ini dipecah. Di Sumatera Barat kaum adat dan kaum ulama dibenturkan.

Bermodal devide et impera Belanda kemudian menggeser pusat kekuasaan dari Timur Nusantara ke Tanah Jawa.

KNIL didirikan, dan dengan pasukan yang terdiri dari bumiputera dari berbagai suku ini Belanda terus mengadu domba.

Serdadu Ambon dikirim ke Jawa. KNIL asal Manado dikirim ke Aceh. KNIL Jawa dikirim ke Kalimantan. KNIL Timor disuruh menindas di Palembang, dan demikian seterusnya.

Sehingga strategi ini menimbulkan kesan betapa kejam dan jahatnya suku-suku itu yang menyebabkan antipati dan rasa saling curiga di antara sesama anak bangsa.

Dikotomi capres Jawa dan non Jawa seakan menemukan pembenaran pada masa Soeharto yang sedemikian lama menjadi presiden (32 tahun).

Sehingga waktu itu (dan mungkin sampai sekarang) berkembang pameo:

“Figur wapres boleh berganti-ganti dari berbagai suku, tetapi presidennya harus orang Jawa”.

Cara berpikir seperti ini bukan saja melanggengkan mindset devide et impera. Selain diskriminatif juga menciptakan kesan figur-figur non Jawa yang memiliki kapasitas kepemimpinan terbaik seolah hanya layak menempati posisi nomor dua.

Padahal kriteria utama untuk menjadi presiden bukan Jawa atau non Jawa, tapi paramaternya haruslah integritas, track record, prestasi, dan ciri kemampuan problem solver.

Selain harus memiliki standar etika yang tinggi, tidak KKN, bukan komprador aseng-asing yang menjual aset bangsa dan kekayaan negeri dengan menjadi boneka Beijing.

Kriteria inilah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang menimpa negeri ini saat ini.

Mempertahankan kriteria kesukuan dalam Pilpres, sama artinya menyetarakan negeri ini dengan negara-negara Afrika yang masih terbelakang.

Di sana pemilihan pemimpin ditentukan berdasarkan aspek tribalisme, dimana pemimpin terpilih hanya setia kepada suku atau kelompoknya saja.

Sebuah kriteria yang tentu sangat sempit dan berbahaya bagi masa depan persatuan bangsa.

Pengamat politik Jerry Massie belum lama ini juga mengintrodusir persoalan capres Jawa dan non Jawa (luar Jawa).

Di dalam sebuah unggahan video di akun Twitter, Jerry Massie menyatakan ragu para ketua umum partai akan memilih tokoh dari luar Jawa sebagai capres. Meski faktanya tokoh tersebut pantas mendapatkan peluang menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Ia kemudian menyebut nama tokoh nasional Dr Rizal Ramli sebagai sosok yang pantas untuk masuk di dalam peluang tersebut.

“Banyak orang yang sangat berharap kepada sosok Rizal Ramli,” tandasnya.

Di Sumatera Barat misalnya, lanjut Jerry Massie, suara pemilih Rizal Ramli cukup banyak. Hal ini mengingat prestasi Rizal Ramli yang saat di dalam maupun di luar kekuasaan selalu berpihak dan mendedikasikan diri untuk kepentingan mayoritas rakyat. Hal lainnya ialah integritas dan sikapnya yang anti terhadap KKN.

Dukungan pemilih terhadap Rizal Ramli di wilayah Jawa Barat juga cukup kuat. Tokoh yang sejak mahasiswa telah memperjuangkan demokrasi ini memiliki pertalian sejarah dengan Tanah Pasundan. Meski lahir di Tanah Minang, sejak kecil hingga remaja ia dibesarkan di Bogor, Jawa Barat, oleh sang nenek yang mengasuhnya sebagai seorang anak yatim piatu.

Ikatan batin dan interaksi persaudaraannya dengan masyarakat Jawa Barat bertambah pula kuatnya saat ia melanjutkan kuliah di ITB, Bandung.

Di kota ini Rizal Ramli menemukan pesemaian nasionalismenya terhadap bangsa dan tanah air dengan menjadi tokoh pergerakan mahasiswa 1978. Antara lain ia memimpin Gerakan Anti Kebodohan, pada 1976, yang menghasilkan Undang-undang Wajib Belajar.

Pada 1978 sebagai Deputi Dewan Mahasiswa ITB Rizal Ramli menjadi salah satu tokoh yang menentang otoritarianisme dan KKN rezim Orde Baru, serta menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa, yang menyebabkan ia dipenjarakan di Penjara Sukamiskin, Bandung, selama satu setengah tahun.

Di ibu kota Priyangan ini pula Rizal Ramli menemukan jodohnya. Seorang mahasiswi jurusan arsitektur yang merupakan adik kelasnya di ITB.

Dukungan cukup kuat para pemilih terhadap Rizal Ramli juga ada di Jawa Timur, mengingat kedekatannya dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Rizal Ramli adalah orang kepercayaan atau murid ideologis presiden ke empat RI itu, karena prestasinya yang menonjol, antara lain sebagai Kepala Bulog dan Menko Perekonomian.

Ia sangat familiar di kalangan kaum Nahdliyin, terutama kalangan NU kultural, yang notabene sebagai ekonom pro kerakyatan Rizal Ramli selalu membela harkat ekonomi mereka, yang umumnya berada di lapisan terbawah.

Hal lainnya, kepribadian Rizal Ramli ternyata cocok dengan masyarakat Jawa Timur yang sangat terbuka dan gemar berterus terang.

Lalu bagaimanakah para ketua umum partai-partai politik menyikapi pernyataan pengamat politik Jerry Massie tersebut di atas,
di tengah sinisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, dalam konteks ini berkaitan dengan dikotomi capres Jawa dan non Jawa?

Apalagi euphoria Pilpres 2024 belakangan ini ternyata didominasi oleh kontestasi Tiktok dan aksi mondar-mandir para ketua umum partai untuk membangun koalisi dengan tujuan berdagang capres boneka kepada oligarki.

Sehingga tak ada ruang untuk gagasan dan solusi buat menyelesaikan persoalan bangsa yang sedang dalam kehancuran.

 

Arief Gunawan
Pemerhati Sejarah