RN - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad menilai upaya kriminalisasi terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di kasus Formula E tak bisa dianggap main-main. Soalnya, kabar soal 'operasi kriminisasi' tersebut bersumber langsung dari internal KPK.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Koran Tempo mengungkap bahwa KPK telah menggelar ekspose kasus Formula E beberapa kali, termasuk pada Rabu, 28 September 2022. Hasilnya, kasus Formula E dinilai belum cukup bukti untuk dilanjutkan ke penyidikan. Namun, Ketua KPK Firli Bahuri ditengarai berkukuh agar kasus itu segera naik penyidikan dengan menggunakan Pasal 40 UU Nomor 19/2019 tentang KPK.
“Penggunaan Pasal 40, ditingkatkan ke penyidikan, kalau nanti tidak terbukti, dilepas saja, ini merupakan sandera hukum yang jahat," kata Suparji dalam diskusi publik KAHMI Jaya bertajuk; 'Masihkah KPK On The Track terkait Formula E', Sekretariat Kahmi Jaya, Jln Cipinang Baru Utara, Jakarta Timur, Rabu (12/10/2022).
BERITA TERKAIT :Setyo Budiyanto Jadi Ketua KPK, Bakal Geber OTT Ke Koruptor
Rakyat Menderita Saat Corona, Koruptor Malah Beli Pabrik Air Minum Di Bogor
Dia lantas mempertanyakan langkah KPK yang disebutnya begitu memaksakan agar kasus ini asal jalan dulu.
"Bagaimana menguji apakah Formula E di KPK didalam track atau di luar track? Untuk menjawab ini kita harus melihatnya secara utuh," jelas Suparji.
Pertama, kata dia, dari sisi prosedur penyelenggaraan dan penganggaran event Formula E sudah melalui regulasi dan persetujuan DPRD DKI Jakarta dan masuk dalam APBD-P DKI 2019.
"Kedua, dari sisi substansi, ini kasus akan menggunakan pasal berapa? Unsur melawan hukum tidak ada. Begitu juga unsur memperkaya orang lain. Kalau komitment fee, itu wajar karena ada hak yang diterima koorporasi sebagai penyelenggara resmi Formula E," bebernya.
Selanjutnya, yang ketiga, unsur menimbulkan kerugian uang negara juga sudah ada hasil audit BPK yang menyebut APBD DKI dalam lima tahun era Anies diganjar predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). “Jadi, semua unsur ini tidak terpenuhi," katanya.
Lebih jauh, dia lantas menyinggung soal rekayasa kasus hukum yang belakangan menggegerkan publik di Tanah Air.
"Penyelewengan kewenangan yang mendasar oleh aparat seperti dalam kasus Sambo, narasi yang coba dibangun begitu rapi, soal tembak menembak. Tetapi kemudian semuanya berantakan. Begitu juga Tragedi Kanjuruhan, dimana awalnya suporter yang coba dikambinghitamkan, dituduh melakukan penyerangan, tetapi kemudian kebenaran itu terungkap," tegas
Sementara itu, Ketua bidang ahli hukum dan advokasi KAHMI Jaya, Aldwin Rahadian, SH, MAP, CIL, memandang, sejak awal KPK juga terkesan ingin menakut-nakuti Anies.
Karena, kata dia, KPK sampai saat ini tidak bisa menunjukkan bukti permulaan dalam kasus Formula E.
"Ini kan bukan OTT, kenapa KPK kok melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari-cari unsur pidananya Mestinya, kan harus ada unsur pidana dulu, baru proses hukum jalan," kata Aldwin dengan nada penasaran.
Karena itu, dia berharap KPK segera kembali ke tracknya menjadi lembaga pemberantas korupsi sebagaimana yang diamanahkan.
"Jangan sampai, KPK yang diharapkan masyarakat menjadi lembaga pemberantas dan pencegahan korupsi, tetapi malah terdegradasi oleh ulah para komisioner KPK," ungkapnya.
Lebih jauh, dia menyinggung soal track record pimpinan KPK saat ini yang terbukti pernah tersandung persoalan etik dasar. Setidaknya, ada dua pimpinan yang terbukti pernah berurusan dengan dewan pengawas (Dewas) KPK yaitu Firli Bahuri dan Lili Pantauli. "Meskipun, yang satu buru-buru keluar atau mundur," sindirinya.