Jumat,  22 November 2024

Mencontoh Nabi Muhammad, Fahd Bapera: Bawa Dalil Keadilan ke Dalam Politik

Tori
Mencontoh Nabi Muhammad, Fahd Bapera: Bawa Dalil Keadilan ke Dalam Politik
Ketua Umum DPP Bapera, Fahd El Fouz/dok DPP Bapera

RN - Indonesia punya Pancasila yang menjadi idelogi bangsa untuk kesepakatan kewarganegaraan dan interpretasinya bermacam-macam.  

Inti dalil tersebut adalah menyelenggarakan kebaikan, menghalangi keburukan dan mengupayakan tidak bertambahnya kejahatan.  Interpretasi perdamaian yang juga diajarkan di dalam kitab suci Alquran.

"Kita sekarang ada di dalam taraf untuk memahami, bagaimana mungkin kitab itu diturunkan pada seseorang yang buta huruf, diajarkan dan diterima oleh sepertiga bangsa manusia. Artinya ada sesuatu yang sakral, yang masuk akal di dalam uraian-uraian tekstual Quran," ujar Ketua Umum DPP Bapera, Fahd el Fouz dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (16/12/2022).

BERITA TERKAIT :
Senin Siang, Fahd Lantik 8 Pengurus DPD Bapera Kabupaten Kota se-Riau
Ternyata Sejak 2017 Fahd El Fouz Rutin Berangkatkan Orang Umrah Gratis, Tahun Ini 500 Peserta

Bicara refleksi kepemimpinan, ia mencontohkan Nabi Muhammad SAW. Seorang pemimpin akan menuntut umat atau warganya pergi pada harapan. Di dalam sistem bernegara, wahyu Allah adalah konstitusi. Jika dipahami tuntunan itu harus menghasilkan harapan.

“Dalam kutbah Nabi Muhammad yang terakhir, orang Arab tidak lebih tinggi dari orang Yahudi, orang Yahudi tidak lebih tinggi dari orang barat, kulit hitam tidak lebih bodoh dari kulit putih, kulit putih tidak lebih pintar dari kulit hitam. Dan itu diucapkan 1.300 tahun yang lalu dan baru diakui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia ke II. Islam telah mendahului kesetaraan manusia. Nabi Muhammad dalam perspektif itu bukan seorang rasis pasti,” urainya.

Kutbah terakhir Nabi Muhammad ini memberi pesan agar sesama harus saling mengingatkan, khususnya pada pemimpin atau calon pemimpin.

"Moral of call dari sifat sifat urgis yang hanya mungkin dipahami oleh orang yang punya kecerdasan. Jadi Alquran diturunkan untuk menghapus kebodohan ketika masyarakat Arab penuh dengan kezaliman karena akalnya tidak dikembangkan. Itulah yang menyebabkan ayat pertama turun yaitu iqro, yang artinya baca," terang dia.

Lebih lanjut Fahd menyampaikan, jika memakai paradigma itu maka bagian sosiologis bicara bagian aqidah/kepercayaan. Sebab, semua agama itu ada dimensi esoteris dan eksoteris.

“Esoteris itu bagian batin yang hanya mungkin dialami ketika ada kesusukan individual atau kusut. Berupaya untuk menyatukan batin dengan alam semesta dan si pencipta alam semesta. Bagian rahasia dari manusia dan itu adalah iman,” paparnya.

Sedangkan bagian eksoteris yang bisa diakses bersama-sama. Seperti halnya persahabatan manusia itu diikat oleh janji kebenaran, keadilan, dan keberanian.

"Kalau kita mau mengingatkan kembali kemampuan taktis, strategis dari nabi sebagai pemimpin militer, politik, dan pemimpin ummat nggak ada bandingannya itu. Karena kita tidak melihat kemampuan yang setara dengan apa yang dilihat dari Nabi Muhammad di masa itu. Karena ada keyakinan di dalam perjuangan. Dan perjuangan anti kebodohan itu yang harus terus disosialiasikan di Indonesia," ujarnya.

Saat ini dia mencermati sedang marak dibahas tentang pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan ketimpangan paling tinggi sepanjang sejarah. Sistem eksploitasi kapitalisme menyebabkan ketimpangan yang bisa berujung kerusuhan etnik, terutama di Indonesia.

“Dalam ekonomi Islam, di dalam kekayaan seseorang ada hak orang lain, keluarkan hak itu karena bukan milkmu. Dan ini perintah sosial di dalam ayat itu. Zakat itu adalah parameter ada tidaknya keadilan, bukan syariah, ini adalah kemasukakalan dari keadilan sosial itu dalam dalil wahyu. Di dalam kekayaanmu ada hak orang miskin” kata Fahd, panjang lebar.

Seorang pemikir liberal Inggris, John Lock pada tahun 1.700  pernah mengucapkan bahwa "Anda boleh mengeksploitasi materi, tapi anda harus tinggalkan jumlah yang sama untuk dieksplotasi oleh orang lain'. Padahal jika dirunut dalil itu lebih dahulu disinggung di dalam Alquran.

"Jadi setelah tahun 1.100 tentang dalil zakat itu diucapkan. Jangan eksploitasi lingkungan dalilnya adalah rahmatanlilalamin, hargai makhluk bukan sekedar manusia, juga alam. Jadi kesetaraan itu sifat sosialistis dari Quran ada di dalam teks, yang bisa dibaca dan bisa diturunkan menjadi regulasi dan paradigma keadilan," kupas Fahd.

Tiga mazhab kepemimpinan Nabi Muhammad yaitu etikabilitas, moralitas, intelektualitas dan elektabilitas. "Kita harus merefleksikan kembali tentang dalil kepemimpinan Nabi Muhammad yaitu soal keadilan, ketegasan sikap sekaligus kemampuan berdiplomasi," kata dia, menekankan.

Fahd pun menyinggung soal Piagam Madinah yang isinya jaminan tidak adanya diskriminasi terhadap orang asing.

"Contohnya kenapa harus berkelahi di dalam kalau ada musuh di luar yang jauh lebih besar? Inilah yang dinamakan kecerdasan seorang pemimpin yang bernama Nabi Muhammad. Jadi kita belajar dari kemampuan diplomatik itu makanya disebut perjanjian Madinah yang disebut kesepakatan. Dan  pakta itu akan hilang kalau ada pengkhianatan," ujarnya.  

Jika hal-hal yang diperjanjikan masih dihormati maka perjanjian Madinah berlaku. "Jadi konsep modern telah dibuat ditahun 1.600 an dan kita baca itu sebagai dokumen politik. Dan lengkaplah dimensi etis dari kepemimpinan," imbuh dia.

Mantan Ketum DPP KNPI menegaskan, manusia tumbuh dengan keyakinan, keinginan untuk menghasilkan masa depan, serta janji keinginan itu adalah janji konstitusi.

"Jangan bawa agama ke dalam politik tapi dalil keadilan harus dimasukkan ke dalam politik dan dalil agama itu paling komprehensif," cetusnya.

Fahd juga menekankan, politik identitas itu bukan politik Islam. Semua orang punya identitas, tapi kacaunya politik identitas justru ditempelkan pada Islam. Padahal, kesetaraan manusia terdapat di dalam Alquran dan konstitusi Indonesia menjaminnya.

"Mayoritas orang Indonesia itu menginginkan kebenaran dan keadilan, menginginkan keakraban sosial bukan pembelahan. Ada etika yang kita ambil dari peristiwa kepemimpinan Nabi yang pertama adalah sikap toleran bahkan terhadap musuh karena dalil tadi mencintai manusia itu melampaui semua strategi politik," tutup Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar ini.