RN - Presiden Joko Widodo mewarning para pengusaha properti. Sebab, walaupun tahan banting tapi harus waspada dengan sektor bisnisnya.
Ucapan Jokowi ini saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) asosiasi pengembang perumahan Real Estat Indonesia (REI). Dalam acara tersebut, Jokowi menyoroti bahwa sektor properti adalah sektor yang tahan banting di tengah perlambatan ekonomi.
"Saya senang di tengah perlambatan ekonomi global, properti real estat termasuk yang tangguh. Tahan banting," ujar Jokowi di acara Munas REI di Hotel Sheraton, Gandaria, Jakarta Selatan, Rabu (9/8/2023).
BERITA TERKAIT :Artis Tajir, Bisnis Prilly Latuconsina Dari Klub Bola Hingga Toko Roti
Syarat TOEFL Digugat, Dituding Sebagai Bisnis Terselubung
Meski memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, sektor properti juga memiliki risiko. Jokowi pun mewanti-wanti para pengembang agar berhati-hati dalam berbisnis. Dia mencontohkan perusahaan properti di China Evergrande yang kini bangkrut dan memiliki utang mengalahkan APBN.
"Dan kalau kita tahu, tidak semua sektor properti negara lain bisa bertahan karena COVID maupun ekonominya. Kita tahu di RRT ada perusahaan properti besar yang ambruk yang utangnya ngalahin APBN kita, sampai Rp 4.400 triliun. Utangnya 4.400 triliun rupiah. Sekali lagi lagi hati-hati mengenai ini, semuanya harus dikendalikan. Berapa backlog kita, jangan cuma bangun," tuturnya.
Meski begitu, Jokowi cukup pede dengan kondisi industri properti di Indonesia akan terus berkembang. Hal ini diperkuat dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% dalam 7 kuartal terakhir.
Jokowi menjelaskan, hal itu dibuktikan dengan semakin bertambahnya anggota REI. Perkembangan perusahaan properti, menurutnya tumbuh sangat pesat.
"Setiap denger kata REI dibayangan saya adalah masif ekspansif. Karena dari sisi anggota di catatan saya tahun 1972 anggotanya 33 perusahaan, sekarang 6.400 perusahaan. Perkembangannya pesat sekali. Isinya kelas kakap ada, kelas sedang ada, kelas kecil sampai kelas teri ada semua. Semua difasilitasi dan diterima oleh REI," katanya.
Sektor properti, kata Jokowi memiliki industri turunan yang banyak sekali. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 16% terhadap PDB..
"Tenaga kerja yang tersangkut dalam perputaran ekonomi di rei 13-19 juta orang. Kenapa banyak negara banyak yg mau drive ekonominya lewat real estat dan properti karena kontribusi PDB sangat tinggi. Multipliernya sampai 185 subsektor industri lainnya. Belum ada yang masif ini, hanya ada di real estat dan properti ini. Batu bata, cat, semuanya bergerak. Furnitur dan interior, kursi lampu, semua laku. Elektronik, kulkas elektronik, ac alat dapur, wajan sendok semua beli kalo rumah baru" tuturnya.
Raksasa China
Seperti diketahui, Raksasa properti China, Evergrande sedang jadi sorotan dunia beberapa waktu belakangan ini. Perusahaan terancam bangkrut karena kesulitan membayar utang dan bunga utangnya.
Total kewajiban perusahaan ini mencapai US$ 300 miliar. Belum lagi ditambah, pembayaran bunga utang yang jatuh tempo lebih dari US$ 100 juta.
Kondisi itu pun menggegerkan dunia. Para ahli pun menyebut jika Evergrande menjadi ujian besar bagi Negara Tirai Bambu tersebut. Bahkan, berisiko mengulang peristiwa Lehman Brothers yang terjadi pada 2008 lalu.
Dilansir Forbes, Evergrande adalah sebuah grup perusahaan induk investasi, yang bergerak dalam pengembangan, investasi, dan pengelolaan properti real estate. Perusahaan ini didirikan pada 26 Juni 2006 dan berkantor pusat di Shenzhen, China.
Dikutip dari situs resmi perusahaan, Evergrande Group saat ini memiliki delapan anak usaha yang bergerak di berbagai industri besar. Seperti Evergrande Real Estate, Evergrande New Energy Auto, Evergrande Property Services, HengTen Networks, FCB, Evergrande Fairyland, Evergrande Health, dan Evergrande Spring.
Perusahaan China ini lebih dikenal sebagai raksasa properti, khusus bisnis real estatenya saja sudah memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di China.
Diketahui Evergrande pada 2021 lalu harus membayar bunga atas beberapa pinjaman bank. Pembayaran bunga dengan total lebih dari US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun (kurs dolar Rp 14.274) akan jatuh tempo pada akhir pekan ini.
Perusahaan juga menyebut penjualan aset properti yang dimiliki tidak mampu melunasi utang yang terlampau amat besar, yakni mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.500 triliun bila dihitung dengan kurs Rp 15.000/dolar AS saat ini.