Jumat,  22 November 2024

Demi Muru'ah Mahkamah Konstitusi, MKMK Dituntut Ambil Keputusan Tidak Normatif

ERY
Demi Muru'ah Mahkamah Konstitusi, MKMK Dituntut Ambil Keputusan Tidak Normatif
Ilustrasi Gedung Mahkkamah Konstitusi - Net

RN – Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Anang Zubaidy menilai majelis hakim Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sepatutnya tidak hanya berpegang pada aspek normatif.

MKMK dituntut agar juga mempertimbangkan putusan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam memutus perkara dugaan pelanggaran etik pada putusan MK terkait batas usia capres-cawapres.

"MKMK untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka dia harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan," terangnya saat dihubungi, Kamis (2/11/2023).

BERITA TERKAIT :
MK Pastikan Anwar Usman Dilarang Terlibat Dalam Sidang Sengketa Pemilu
Sekjen Partai Pro Ganjar Bidik Eks Ketua MK Anwar Usman, Awas Nanti Kena Setrum?

Menurutnya ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, maka putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu sekaligus meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi mekanisme untuk membatalkan putusan.

"Kalau berpikirnya normatif ya selesai, kita tidak ada upaya hukum apa pun, saya berpikirnya di luar itu. Bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar," jelas pakar hukum tata negara itu.

Menurutnya, MKMK menjalankan peran sebagai hakim yang punya fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh sebab itu, kacamata yang digunakan semestinya tidak sekadar normatif.

"Karena kalau bicara kepastian hukumnya ya selesai. Kita tidak perlu mendiskusikan putusan itu mau diapakan? Tapi kalau kita bicara dari aspek kemanfaatan dan keadilan, saya kira masih terbuka pintu diskusi, atau masih terbuka peluang untuk membatalkan putusan," tegasnya.

Anang berharap MKMK juga menggunakan nurani untuk memutus perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. "Mudah-mudahan majelis hakim MKMK itu bukan sekadar menggunakan kacamata normatif, tetapi juga menggunakan nuraninya untuk membaca fenomena ini, untuk membaca putusan, dan membaca dugaan konflik kepentingan dari kacamata keadilan dan kemanfaatan," ucapnya.

Sementara itu, Program Manajer Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda mengimbau agar publik perlu menaruh kepercayaan dan harapan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengambil keputusan yang berani.

“Sebab, MKMK fungsinya tidak hanya memutus dan mengadili perkara etik, tetapi juga untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Masyarakat dukung terus agar MKMK menghasilkan putusan penghukuman etik yang tegas dan berani,” kata Voilla.

Adapun putusan MKMK terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, akan mengembalikan citra dan muru’ah MK. “MKMK harus berani mengambil jalan aktivisme dengan memberikan sanksi selain etik, tetapi juga terkait legitimasi putusan MK tentang  pengujian syarat usia Capres-Cawapres,” tegas Violla.

 

Sanksi yang Diharapkan

MKMK perlu melakukan lompatan, karena daya rusak yang signifikan ke Mahkamah Konstitusi secara institusional akibat konflik kepentingan Anwar Usman yang amat terang dalam perkara ini.

“Sanksi yang diharapkan, yaitu (1) pemberhentian secara tidak hormat sebagai Ketua dan Hakim Konstitusi; (2) menyatakan Putusan 90 / 2023 batal demi hukum karena cacat secara formil; atau setidaknya, meminta MKMK untuk memerintahkan Mahkamah Konstitusi meninjau kembali putusan pengujian syarat capres dan cawapres tanpa melibatkan Hakim Terlapor,” tambah Violla.

Merujuk ke Pasal 17 ayat (6) dan (7) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pasal ini bisa jadi referensi MKMK untuk menginvalidasi putusan syarat usia, terutama ketika diputus melakukan pelanggaran berat.

“Ini kondisi yang luar biasa, ia melibatkan pucuk pimpinan MK, yang punya peran strategis dan aktif dalam memuluskan agar perkara dikabulkan. Pasal ini bisa diimplementasikan ke MK karena termasuk ke bab asas-asas kekuasaan kehakiman, yang mengikat baik MA maupun MK,” pungkas Violla.