Sudah begitu jelasnya moderator menuntun: agar di sesi penutup masing-masing paslon cooling down. Dengan cara menyampaikan yang sejuk-sejuk. Dan saling memberi apresiasi.
Padahal seharusnya sudah bisa dewasa sendiri. Tanpa perlu dituntun moderator. Apalagi tuntunan itu sampai begitu nyata. Kalimat moderator itu bukan sekedar menuntun lagi. Sudah setingkat memerintahkan. Sampai Ira Kusno, sang moderator, kelihatan terlalu mendikte.
Tapi dua calon presiden kita itu tetap keras kepala. Gagal memberikan kesejukan yang diminta. Maka debat pertama calon presiden Republik Indonesia itu sangat mengecewakan. Kamis malam lalu itu.
BERITA TERKAIT :Pilkada Jabar Disusupi Judi Online, KPU Gimana Nih?
Trump Tuding Kamala Harris Akan Bawa AS Perang Dunia Ke-3
Sayang sekali tidak ada yang terucap. Kata-kata saling memuji itu. Setidaknya ucapan saling menghargai. Masing-masing sibuk dengan ego. Padahal begitu banyak yang bisa dipuji. Yang paling sederhana sekali pun.
Capres Jokowi, misalnya, bisa memuji Prabowo soal pakaiannya. Yang jasnya begitu bagus. Yang suaranya begitu lantang. Pujian seperti itu toh tidak akan membuat pengikut Jokowi pindah pilih Prabowo.
Atau bahkan masih bisa bernada ‘menjatuhkan’ lawan. Dengan amat elegannya.
Demikian juga sebaliknya. Capres Prabowo bisa memuji baju hem putih lengan panjang Capres Jokowi. Yang kali ini cuttingnya sangat bagus.
Potongan kerah lehernya juga sempurna. Kelihatan sekali baju itu mahal harganya. Toh pujian seperti itu biar pun bisa dibilang nyindir tapi cerdas.
Sungguh sayang. Contoh sesederhana itu pun gagal ditampilkan pemimpin bangsa. Pun sebenarnya tanpa harus ada perintah dari moderator.
Tentu ego boleh tampil dalam debat. Ego adalah bensin penggerak otak. Tapi tampilnya ego yang berlebihan malam kemarin itu tidak membawa citra yang baik: bagi kedua calon.
Menang kalah masih dominan menjadi tujuan. Padahal rakyat ingin melihat adu kecerdasan.
Tidak perlu saling menjatuhkan dengan gaya yang norak. Pilihan-pilihan kalimat malam itu tidak ada yang kelas intelektual. Apalagi filosofi.
Memang Capres Jokowi berhasil melayangkan jab mematikan. Yang membuat Capres Prabowo gelagapan: isu calon terpidana korupsi terbanyak dan isu porsi wanita yang minim di partainya.
Betapa mudah sebenarnya. Jab itu ditangkis dengan jurus silat. Tapi Prabowo seperti lupa punya padepokan silat raksasa di dekat Taman Mini itu.
Sandi Uno yang masih jernih. Tidak mau terlibat di dua isu itu. Dengan pernyataannya yang proporsional. Serangan Jokowi itu ia nilai ke Partai Gerindra. Yang Sandi mengatakan sudah keluar dari sana.
Tapi Sandi juga terlalu memaksakan skenario yang sudah terlanjur disiapkannya. Isu ekonomi. Semua ia tarik ke ekonomi: saat bicara HAM, bicara korupsi, disabilitas, dan bicara terorisme.
Semua Capres masih terlalu dominan bicara normatif. Misalnya “laporkan saja kalau memang ada bukti”.
Bahkan meleset dari dasar-dasar topik. Misalnya “koruptor ditangkap itu tidak termasuk melanggar HAM”.
Prabowo masih sering salah memilih diksi. Jokowi masih sering terasa membaca.
Ahli debat memang tidak ada yang jadi Capres. Dan Capres tidak ada yang ahli debat. Dan apakah debat memang penting. (Dahlan Iskan)